Total Tayangan Halaman

Minggu, 04 Maret 2012

PUASA TIDAK WAJIB BAGI ANAK KECIL

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah orang yang hilang ingatan, anak kecil, kurang waras dan orang gila wajib melaksanakan ibadah puasa.

Jawaban
Allah Azza wa Jalla mewajibkan ibadah atas seseorag jika dia memilki kecakapan untuk melaksanakannya (memenuhi syarat taklif) yaitu berakal, sehingga mampu memahami segala sesuatu. Adapun orang yang kehilangan akal, maka tidak wajib melaksanakan ibadah. Berdasarkan ini, maka orang gila dan anak kecil yag belum mumayyiz (artinya belum mampu membedakan antara yang yang baik dan buruk) tidak wajib menunaikan ibadah. Ini satu bentuk rahmat Allah Azza wa Jalla. Demikian juga Al-Ma’tuh (kurang waras) dibawah level gila, demikian juga orang tua renta yang pikun, seperti yang dikemukakan penanya, maka dia tidak wajib melaksanakan ibadah puasa, shalat dan thaharah (beruci). Orang pikun itu layaknya anak kecil yang belum mumayyiz maka beban syari’at seperti thaharah, shalat dan puasa gugur atasnya.

Adapun kewajiban yang berkaitan dengan harta benda, maka masih tetap berlaku meski dalam kondisi seperti ini. Misalnya zakat wajib dikeluarkan dari hartanya yang telah sampai nishan oleh orang yang mengurusnya. Sebab, zakat berhubungan dengan harta. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” [At-Taubah : 103]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka” bukan “Ambilah dari mereka”. Rasulullah bersabda kepada Muadz ketika mendelegasikan ke Yaman ; “beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka mengeluarkan sedekah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari para orang kaya untuk diberikan kepada orang-orang fakir”. Ucapan beliau : “sedekah dari harta mereka” menegaskan bahwa kewajban tersebut berkaitan denga harta itu sendiri walaupun memang diambil dari pemiliknya.

Ringkasnya, kewajiban yang berhubungan dengan harta tidak gugur dari orang yang demikian kondisinya (anak kecil, dan hilang ingatan’-pent). Adapun ibadah badaniyah (fisik) seperti shalat, thaharah dan puasa, maka tidak wajib dilakukan (gugur) dari orang yang seperti ini, karena dia sedang dalam kondisi tidak berakal. Jika hilangnya ingatan lantaran pingsan (sakit) maka tidak wajib juga untuk mendirikan shalat menurut pendapat mayoritas ulama.

Orang sakit yang pingsan untuk beberapa hari, tidak wajib mengqqadha (mengganti) shalat yang ditinggalkan karena tidak berada di bawah kesadaran. Statusnya tidak seperti orang tidur yang dipaparkan oleh Rasulullah.
“Barangsiapa tertidur, tidak mengerjakan shalat atau lupa hendaknya mengerjakan ketika dia ingat”.

Orang tidur masih disertai kesadaran (idrok) artinya dia bisa bangun saat dibangunkan. Beda halnya dengan orang pingsan, ia tidak akan sadarkan meski dibangunkan. Hukum ini berlaku jika terjadinya pingsan bukan dampak dari rekayasanya. Kalau faktor penyebab pingsan terebut dari dirinya sendiri misalnya mengkonsumsi Al-Banju (jenis tanaman memabukkan dari marga terong-terongan) maka dia tetap wajib mengganti (qadha) shalat-shalat yang dia tinggalkan selama tidak sadarkan diri.

[Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 1/491]

ANAK KECIL BERSIKERAS PUASA PADAHAL MEMBAHAYAKAN DIRINYA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Anak saya masih kecil (bersikeras) untuk berpuasa Ramadhan meski akan berdampak negative bagi dirinya lantaran masih kecil dan kesehatannya yang kurang baik (prima). Apakah harus saya paksa dengan kekerasan agar tidak berpuasa?

Jawaban
Jika masih kecil belum akil baligh, maka tidak wajib berpuasa. Namun bila mampu tanpa susah payah maka perlu diperintahkan berpuasa. Ini yang dilakukan para sahabat terhadap anak-anak mereka. Sampai-sampai jika sang anak menangis karena lapar, maka mereka memberikan mainan untuk melupakan rasa laparnya.

Tetapi kalau terbukti puasa dapat membahayakan kondisinya, maka dia harus dicegah untuk berpuasa. Allah saja melarang kita untuk menyerahkan harta milik anak-anak kepada mereka, karena khawatir akan dihambur-hamburkan, tentunya kekhawatiran terhadap sesuatu yang bisa membahayakan diri mereka, seperti berpuasa lebih utama lagi untuk dicegah.

Dalam pencegahannya, perlu metode tanpa kekerasan. Karena cara tersebut tidak seyogyanya diapakai dalam mendidik anak-anak.

[Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 1/493]


UNTUK SIAPA PAHALA PUASA ANAK YANG MASIH KECIL?


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin


Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin ditanya : Apa syarat-syarat syahnya puasa anak kecil? Apakah benar asumsi bahwa pahala puasanya menjadi milik kedua orang tuanya?

Jawaban
Syari’at memerintahkan orang tua agar membiasakan anak-anak untuk berpuasa sejak dini saat mereka mampu melaksanakannya, meski umurnya belum mencapai 10 tahun. Dan jika dia telah baligh, maka orang tua harus memaksanya. Kalau anak kecil berpuasa juga sebelum baligh maka dia juga wajib meninggalkan hal-hal yang meruksan puasa seperti layaknya orang dewasa, misalnya makanan dll.

Sedangkan pahala puasanya, maka ia menjadi miliknya, dan orang tua juga mendapatkan pahala atas usahanya mendidik anak berpuasa.

[Fawaid wa Fatawa Tahumul Mar’ah Al-Muslimah : 91]

[Disalin dari Kitab Fatawa Ath-Thiflul Muslim Edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa'id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu - Jakarta]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar