Total Tayangan Halaman

Rabu, 29 Februari 2012

Hukum Menolak Kebenaran

Kebenaran mutlak datang hanya dari Allah azza wa jalla. Oleh karena itu, al haq tidak diambil kecuali dengan petunjuk kitab Allah azza wa jalla dan Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan sepantasnya orang-orang yang sudah menerima al haq, hendaknya mereka menerima dan mengikutinya.

Allah azza wa jalla telah memuji orang-orang yang beriman karena mereka mengikuti al haq dalam firmannya (yang artinya):

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” [QS.a-Ra’d/13:19]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang makna ayat ini, “Maka tidaklah sama orang yang menyakini kebenaran yang engkau bawa – wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam – dengan orang yang buta, yang tidak mengetahui dan memahami kebaikan. Seandainya memahami, dia tidak mematuhinya, tidak mempercayainya dan tidak mengikutinya.” [1]

Namun, umumnya manusia tidak perduli terhadap kebenaran, tidak mau mencarinya dan tidak menelitinya. Sehingga mereka berkubang di dalam kesesatan dengan sadar atau tanpa sadar. Allah azza wa jalla berfirman, yang artinya, “Apakah mereka mengambil sesembahan-sesembahan selain-Nya? Katakanlah, ‘Tunjukkanlah hujjahmu! (al Qur’an) ini adalah ;peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang sebelumku.” Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling.” [QS.al Anbaiya’/21:24]

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rahimahullah berkata, “Mereka tidak mengetahui kebenaran bukan karena kebenaran itu samar dan tidak jelas. Namun karena mereka berpaling darinya. Jika mereka tidak berpaling dan mau memperhatikannya, niscaya kebenaran menjadi jelas bagi mereka dari kebatilan, dengan kejelasan yang nyata dan gamblang.” [2]

Oleh karena itu, jangan sekali-kali seorang Muslim menolak kebenaran. Siapapun pembawanya. Karena menolak kebenaran itu merupakan sifat kesombongan yang dibenci Allah azza wa jalla. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tidak akan masuk surga orang yang ada di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi. Seorang laki-laki bertanya, ‘Ada seseorang yang suka bajunya bagus dan sandalnya bagus (apakah termasuk kesombongan?) Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Sesungguhnya Allah Maha indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” [HR.Muslim no.2749, dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu]

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun ‘menolak kebenaran’ yaitu menolaknya dan mengingkarinya dengan menganggap dirinya tinggi dan besar.” [3]

Imam Ibnul Atsir rahimahullah berkata tentang makna ‘menolak kebenaran’, yaitu menyatakan bathil terhadap perkara yang telah Allah azza wa jalla tetapkan sebagai kebenaran, seperti mentauhidkan-Ny dan beribadah kepada-Ny. Ada yang mengatakan, maknanya adalah menzhalimi kebenaran. Dan ada yang mengatakan, makanya adalah merasa besar terhadap kebenaran, yaitu tidak menerimanya.” [4]

Seorang Muslim jangan menyerupai orang-orang Yahudi. Mereka mengetahui kebenaran, namun tidak mengikutinya, Allah azza wa jalla berfirman tentang orang-orang Yahudi Madinah yang enggan beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Dan setelah datang kepada mereka (orang-orang Yahudi) al Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” [QS.al Baqarah/2:89]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Allah azza wa jalla menyifati orang-orang Yahudi bahwa mereka dahulu mengetahui kebenaran sebelum munculnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbicara dengan kebenaran dan mendakwahkannya. Namun, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada mereka, beliau berbicara dengan kebenaran. Karena beliau bukan dari kelompok yang mereka sukai, maka mereka pun tidak tunduk kepada beliau, dan mereka tidak menerima kebenaran kecuali dari kelompok mereka. Padahal, mereka tidak mengikuti perkara yang diwajibkan oleh keyakinan mereka.” [5]

Inilah di antara sifat-sifat buruk orang-orang Yahudi. Mereka tidak mau menerima kebenaran kecuali dari kelompok mereka saja. Rupanya, sifat seperti ini menjalar di kalangan ahli bid’ah dulu dan sekarang, mereka tidak mau menerima kebenaran kecuali dari kelompoknya saja, atau buku-bukunya saja, atau guru-gurunya saja. Wallahul Mus’taan.

Sesungguhnya kebenaran itu tetap diterima walaupun datangnya dari orang kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencontohkan hal ini di dalam beberapa hadits beliau. Antara lain hadits berikut ini. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

“Dua nenek Yahudi Madinah masuk menemuiku, keduanya mengatakan sesuatu kepadaku, “Sesungguhnya orang-orang yang berada di dalam kubur di siksa di dalam kubur mereka.” Aku mendustakan keduanya, aku tidak senang membenarkan keduanya. Lalu keduanya keluar. Nabi datang masuk menemuiku, maka aku berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dua nenek…”, aku menyebutkan kepada beliau. Beliau bersabda, “Keduanya benar. Sesungguhnya mereka disiksa dengan siksaan yang didengar oleh binatang-binatang semuanya.” Kemudian tidaklah aku melihat beliau di dalam shalat setelah itu, kecuali beliau berlindung dari siksa kubur.” [HR.Bukhari no.6366, Muslim no.586]

Lihatlah, bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkan dan menerima perkataan dua nenek Yahudi tentang adanya siksa kubur. Bahkan, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung dari siksa di dalam shalatnya setelah itu. Maka bandingkanlah dengan sebagian orang Islam di zaman ini, ketika telah disampaikan kepadaya tentang suatu permasalahan yang benar berdasarkan ayat al Qur’an, hadits yang shahih, dan penjelasan oara Ulama. Mereka tidak menerimanya hanya karena orang yang menyampaikan berbeda mahzabnya, organisasinya, tempat mengajinya, kebiasaan masyarakatnya, atau semacamnya.

Di dalam suatu kejadian yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari perkataan yang benar dari orang-orang Yahudi. Bahkan beliau meluruskan amalan umat dari sebab peringatan yang disampaikan oleh seorang Yahudi! Sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:

“Dari Qutailah, seorang wanita dari suku Juhainah, bahwa seorang laki-laki Yahudi mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Sesungguhnya kamu menjadikan tandingan (bagi Allah). Sesungguhnya kamu menyekutukan (Allah). Kamu mengatakan ‘Apa yang Allah kehendaki dan apa yang engkau kehendaki’. Kamu juga mengatakan ‘Demi Ka’bah’. Maka Nabi memerintahkan kaum Muslimin, jika menghendaki sumpah untuk mengatakan ‘Demi Rabb Ka’bah’. Dan agar mereka mengatakan ‘Apa yang Allah kehendaki kemudian apa yang engkau kehendaki’. [HR.Nasa’I no.3773, dishahihkan oleh al Albani)

Ketika menjelaskan faedah-faedah dari hadits ini, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari orang Yahudi tersebut, padahal yang nampak dari niat orang Yahudi itu adalah mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat beliau. Karena yang dia katakan memang benar. Kedua: Disyari’atkan kembali menuju kebenaran walaupun yang mengingatkan hal itu adalah bukan pengikut kebenaran. Ketiga: Sepantasnya ketika merubah sesuatu hendaknya merubahnya kepada sesuatu yang dekat dengannya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengatakan ‘Demi Rabb Ka’bah’, dan beliau tidak mengatakan ‘Bersumpahlah dengan nama Allah azza wa jalla’. Dan beliau memerintahkan mereka agar mengatakan ‘Apa yang Allah azza wa jalla kehendaki, kemudian apa yang engkau kehendaki.’”

Setelah penjelasan ini, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menyampaikan suatu masalah dan jawabannya. Yaitu ketika ditanya, “Kenapa tidak ada yang mengingatkan (kesalahan) perbuatan ini kecuali seorang Yahudi?” Jawabannya adalah, “Kemungkinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mendengarnya dan tidak mengetahuinya.” Jika ditanya lagi, “Allah Maha mengetahui, kenapa mendiamkan mereka?” maka dijawab, “Sesungguhnya itu adalah syirik asghar (kecil), bukan syirik akbar (besar). Hikmahnya adalah ujian bagi orang-orang Yahudi. Mereka mengkritik umat Islam atas kata tersebut, padahal mereka menyekutukan Allah azza wa jalla dengan syirik yang besar, namun mereka tidak melihat aib mereka.” [6]

Bahkan sesungguhnya menolak kebenaran itu merupakan sifat orang-orang kafir. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafidzahullah berkata, “Sesungguhnya Allah azza wa jalla telah mengutus para Rasul kepada manusia dan memerintahkan mereka dengan dakwah untuk beribadah kepada Allah azza wa jalla dan mentauhidkan-Nya. Namun mayoritas umat mendustakan para rasul. Mereka menolak al haq yang telah diserukan kepada mereka yatu tauhid. Maka akibatnya adalah kehancuran.” [7]

Syaikh juga mengatakan, “Oleh karena ini, wajib menerima al haq dari siapa saja, bahkan walaupun dari setan.” [8] Kemudian Syaikh membawakan hadits shahih seperti di bawah ini:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewakilkan aku untuk menjaga zakat ramadhan. Kemudian ada seorang yang mendatangiku lali mengambil makanan dengan tangannya. Maka aku menangkapnya, dan kukatakan, “Aku benar-benar akan membawamu kepada Rasulullah …Kemudian dia menyebutkan hadits itu…lalu pencuri itu berkata, “Jika engkau pergi ke tempat tidurmu bacalah ayat kursi, akan selalu ada seorang penjaga dari Allah atasmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai waktu subuh.” Kemudian Nabi bersabda, “Dia (pencuri itu) telah berkata benar kepada (hai Abu Hurairah), namun dia itu sangat pendusta, dia adalah setan,” [9]

Kesimpulannya adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafizhahullah, “Berdasarkan ini, seorang Mukmin tidak boleh menolak kebenaran dan nasehat sehingga tidak menyerupai orang-orang kafir, dan sehingga tidak terjerumus di dalam kesombongan yang akan menghalangi pelakunya untuk memasuki surga. Hikmah adalah barang hilang seorang Mukmin, di mana saja dia menemuinya, dia mengambilnya.” [10]

Note:

[1] Tafsir al Qur’anil ‘Azhim, surat ar Ra’du/13: 19

[2] Tafsir Taisir Karimir Rahman, surat al Anbiya’/21: 24

[3] Syarah Muslim, hadits no.2749

[4] An Nihayah fi Gharibil Hadits

[5] Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.14; Syarah Syaikh al ‘Utsaimin; Penerbit.Dar Ibni Haitsam; Kairo; Takhrij:Fathi Shalih Taufiq

[6] Al Qaulul Mufid hal.522-523; Penerbit Abu Bakar ash Shiddiq, Mesir, Cet.1, Th.2007M/1428H; Tahqiq: Muhammad Sayyid ‘Abdur Rabbir Rasul

[7] Minhajul Firqah an Najiyah hal.140

[8] Minhajul Firqah an Najiyah hal.140

[9] HR.Bukhari no.2311, 3275, dengan mu’allaq, namun disambungkan oleh Abu Bakar al Isma’ili dan Abu Nu’aim, sebagaimana disebutkan di dalam Hadyus sari hal.42 dan Fathul Bari 4/488. Lihat penjelasan lengkap di dalam Fathul Mannan, hal.458-460, karya Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman.

[10] Minhajul Firqah an Najiyah hal.140

METODE ISTINBATH (PENGUMPULAN IDE HUKUM ISLAM)

A. Pengertian Istinbat
Secara etimologi istinbath berarti penemuan, penggalian, pengeluaran (dari asal). Sedangkan hukum mempunyai arti hukum, peraturan dan kekuasaan. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa istinbath hukum Al-Qur'an adalah menemukan dan mengambil hukum dari Al-Qur'an.
Sedangkan menurut istilah berarti mengeluarkan makna-makna dari nash-nash yang terkandung didalamnya dengan cara mengerahkan kemampuan atau potensi naluriyah.
Dari nash tersebut terbagi menjadi dua macam, yaitu yang berbentuk bahasa (lughawiyah) yang biasa disebut lafdhiyah dan adakalanya tidak berbentuk bahasa, yang biasa disebut maknawiyah. Dalam pembahasan berikutnya akan kami jelaskan tentang pembagian masing-masing.

B.Istinbath Lafdzi
Yaitu mengistinbathkan hukum atau mengambil suatu hukum ditinjau dari segi lafadznya. Para ulama’ Ushul memakai kaidah bahasa berdasarkan makna tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa Arab, sesudah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dari kesusasteraan Arab.
Ada tiga cara untuk mengetahui makna yang tepat dari suatu lafadz atau uslub-nya:
1) Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah mutawatir, telah terkenal serta telah menjadi kebiasaan dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari, yang mana Imam Syafi’i menyebutnya dengan Ilmu al-’Ammah. Yaitu sesuatu yang sudah menjadi maklum (umum).
2) Berdasarkan pengertian orang-orang tertentu dan tidak diketahui oleh kelompok lain. Hal ini dapat kita jumpai dalam istilah-istilah ilmiah. yang menurut Imam Syafi’i disebut ilmu al-khasshah.
3) Berdasarkan hasil pamikiran akal nalar terhadap suatu lafadz.
Namun demikian tidaklah semua orang dapat menetapkan pengertian kata-kata itu berdasarkan hasil pemikiran akal setiap orang, tetapi haruslah oleh yang ahlinya dalam bahasa itu, dan mengerti tentang perkembangan pemakainnya di kalangan masyarakat.
C. Macam-macam Istinbath Lafdzi:
1. Khash
Dalam mendefinisikan kata khash para Ulama’ Ushul berbeda pendapat. Namun, pada hakikatnya definisi tersebut memiliki pengertian yang sama.
Hukum Lafadz Khash.
Suatu lafadz dalam nash hukum syara’ yang menunjukan suatu lafadz tertentu adalah qath’i bukan dhanny, selama tidak ada dalil-dalil lain yang mengubah maknanya. Oleh karena itu, apabila lafadz khash dikemukakan dalam bentuk mutlak, tanpa batasan apapun maka lafadz itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlak, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafadz itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkan pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafadz itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahi), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah atau indikasi yang memalingkan dari hal itu.
2. ’Amm
Lafadz ’Amm adalah suatu lafadz yang menunjukan suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu (global). Tidak ada perbedaan dalam pengertian ’amm tersebut apakah dinyatakan dengan lafadz plural (jamak) atau singular (tunggal). Para Ulama’ Ushul memberikan definisi ’amm salah satunya adalah menurut ulama’ Syafi’iyah, yang berpendapat bahwa ’amm adalah : ”satu lafadz yang dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.” Hukum berhujjah dengan ’Amm:
Jumhur Ulama’ Ushul berpendapat bahwa dalalah menunjukan seluruh satuannya secar dzanniyah, karena apa yang terkandung didalam lafadz ’amm itu kebanyakan yang dikehendaki adalah beberapa atau sebagian dari satuan-satuannya saja. Karena itu dikalangan ulama’ terkenal adanya kaidah :
”tidak ada satupun dari yang umum melainkan ia di takhsiskan (dibatasi).”
Jadi, tidak diperkenankan langsung berhujjah dengan dalil ’amm dalam menetapkan hukum. Karena itu para mujtahid diwajibkan meneliti lebih dahulu apakah ada pen-takhsis-nya atau tidak.
3. Amr (perintah)
Definisi amr menurut Jumhur Ulama’ adalah suatu permintaan dari atasan kepada bawahan untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Bentuk Amr dan hakikatnya
Menurut Jumhur Ulama’, amr secara hakikat menunjukan wajib dan tidak bisa berpaling pada arti lain. Kecuali bila ada qarinah. Pendapat ini dipegang oleh al-hamidi, As-Syafi’i, para Fuqaha, kaum mutakallimin, seperti Al-Husein Al-Basari dan Al-Juba’i.
Golongan kedua, yaitu mazhab Abu Hasyim dan sekelompok ulama’ mutakallimin dari kalangan Mu’tazilah menyatakan bahwa hakikat amr adalah nadb (Sunnah).
Golongan ketiga berpendapat bahwa amr itu musytarak antara wajib dan nadb, pendapat ini dipengaruhi oleh Abu Mansur Al-Maturidi.
Pendapat keempat, Qadi Abu Bakr, Al-Gazali, dan lain-lain, menyatakan bahwa amr itu maknanya bergantung pada dalil yang menunujukan maksudnya.
• Perintah sesudah larangan
Ada perbedaan pendapat ulama’ tentang dalalah amr sesudah nahi. Ada yang mengatakan bahwa amr itu tetap wajib dikerjakan walaupun sebelumnya ada larangan untuk berbuat. Namun demikian yang masyhur dikalangan ulama’ Ushul ialah amr sesudah nahi adalah ibahah (Kebolehan).
• Perintah dan waktu mengerjakannya
Lafadz amr baik dalam Al-qur’an maupun al-Hadis pada hakikatnya adalah untuk mengerjakan apa yang disuruh. Suruhan itu tidak harus segera dilaksanakan dalam waktu yang cepat ataupun ditangguhkan. Semuanya itu dapat dipahami dengan adanya qarinah-qarinah (argumen) lain.
4. Nahi (larangan)
Definisi nahi adalah kebalikan dari amr yaitu lafadz yang menunjukan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan.
Makna Sighat Nahi :
a. Menurut Jumhur Ulama, pada dasarnya adalah menunjukan kepada tahrim, seperti firman Allah SWT yang artinya : ”janganlah kamu mendekati zina”. (al-Isra’: 32) Dari pernyataan diatas dapat disimpulakan bahwa, pada dasarnya larangan itu untuk mengharamkan (sesuatu perbuatan yang dilarang).
b. Pendapat kedua, menyatakan bahwa pada dasarnya nahyi itu menunjukan pada karahah saja. Mereka memiliki kaidah, pada dasarnya nahi itu menunujukan kepada karahah (perbuatan yang dibenci). Alasan mereka larangan itu karena buruknya perbuatan yang dilarang dan tidak mesti harus haram. Diantara yang haram dan yang makruh, yang paling diyakini adalah yang makruh bukan yang haram, apalagi pada dasarnya segala perbuatan itu adalah boleh dikerjakan.
5. Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Sedangkan Muqayyad adalah suatu lafadz yang menunjukan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinnya. Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad :
• Suatu lafadz dipakai dengan mutlaq pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan Muqayyad, keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.
• Lafadz mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
• Lafadz mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya.
• Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama.
Mutlaq dan muqyyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
Hukum lafadz mutlaq dan muqayyad: Lafadz mutlaq dan muqayad, masing-masing menunjukan kepada makna yang qath’i dalalah-nya. Karena itu apabila lafadz tersebut mutlaq maka harus diamalkan sesuai dengan muthlaq-nya. Dan apabila lafadz itu muqayyad, maka harus diamalkan sesuai dengan muqayyad-nya. Yang demikian itu berlaku selama belum ada dalil yang memalingkan artinya dari muthlaq ke muqayyad dan dari muqayyad ke mutlaq.


D. Istinbath Maknawi
a) Makna Dhahir
Penjelasan tentang dhahir atau (dhahirud dalalah) adalah termasuk pembicaraan tentang lafadh ditinjau dari segi terang atau tidaknya arti yang terkandung di dalamnya.
Menurut para ulama ushul fiqh, dhahirud dalalah atau juga disebut dengan wadlihud dalalah ialah lafadh yang menunjukkan kepada ketegasan arti yang dimaksudkan secara jelas dalam lafadh itu sendiri, tidak tergantung kepada sesuatu hal di luar lafadh tersebut. Dengan kata lain, dhahirud dalalah adalah lafadh yang terang arti yang ditunjuki, sehingga untuk sampai kepada arti tersebut tidak perlu adanya sesuatu bantuan di luar lafadh itu.
Dilihat dari tingkat terangnya lafadh itu dalam menunjukkan kepada arti yang dimaksudkan, maka dhahirud dalalah adalah dibagi menjadi empat macam, sedangkan urutan tingkat empat macam tersebut dari yang terang kemudian yang lebih terang dan seterusnya meningkat kepada yang lebih terang lagi, adalah sebagai berikut : dhahir, nash, mufassar kemudian muhkam.
1. Dhahir
Dhahir ialah suatu lafadh yang jelas dalalahnya menunjukkan kepada suatu arti asal tanpa memerlukan factor lain diluar lafadh itu dan mungkin dapat ditakwilkan dalam arti yang lain, dan mungkin juga dimasukkan.
Hukum dhahir adalah wajib diamalkan menurut arti yang ada pada lafadh itu kecuali ada dalil lain yang men-ta’wil-kannya. Jika dhahir berupa lafadh mutlak harus diamalkan menurut mutlaknya sampai ada dalil yang men-taqyid-kan (membatasi) kemutlakan tersebut, dan jika dhahir itu berupa lafadh ’amm, maka harus diamalkan menurut keumumannya, sampai ada dalil lain yang men-takhsis-kan (mengkhususkan) berlakunya keumuman tersebut atau diamalkan menurut arti yang ada pada lafadh itu sampai ada dalil yang me-mansukh-kannya.
2. Nash
Nash ialah suatu lafadh yang tidak mungkin mengandung pengertian lain, selain yang ditunjukkan oleh lafadh itu sendiri yang dapat ditakwilkan.
Sebagaimana hukum dhahir, nash juga harus diamalkan menurut arti yang ada pada nash tesebut sampai ada dalil yang men-takwil-kan, yaitu kalau lafadh itu berupa lafadh mutlak harus diamalkan atas kemutlakannya sampai ada dalil yang men-taqyid-kannya. Dan kalau nash itu berupa lafadh ’amm harus diamalkan atas keumumannya sampai ada dalil yang mengkhususkan atau diamalkan menurut arti yang ada pada lafadz tersebut sampai ada dalil yang me-mansukh-kan.
3. Mufasshar
Mufasshar ialah suatu lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksud dengan disusunnya lafadh itu yang tidak mungkin di-takwil-kan kepada yang lain, akan tetapi dapat menerima nasakh (penghapusan) pada masa Rasulullah saw. Mufasshar dibedakan menjadi dua macam, yaitu mufassar lidzatihi dan mufassar bighoirihi.
a. Mufasshar lidzatihi yaitu lafadh yang tidak membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan
b. Mufasshar bighoirih, yaitu lafadh yang membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan.
4. Muhkam
Muhkam ialah lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksudkan (dengan disusunnya) lafadh itu, dengan tidak mungkin ditakwilkan dan tidak dimansukhkan pada masa Rasulullah saw. Tidak di-mansukh-kannya muhkam, karena hukum-hukum yang tersebut merupakan hukum-hukum yang pokok dalam agama, seperti ibadah hanyalah kepada Allah swt dll.
b) Makna Khafi
Pembicaraan tentang khafi atau lengkapnya disebut dengan khafiyud dalalah juga merupakan bagian dari pembiraan tentang lafadh ditinjau dari segi terang atau tidaknya petunjuknya kepada arti yang dimaksudkan. Khafiyud oleh para ulama ushul fiqh diartikan dengan : lafadh yang tertutup (tidak terang) aartinya, oleh karena itu keadaan lafadh itu sendiri atau karena hal-hal lain.
Para ulama membagi khafiyud dalalah menjadi empat macam, yaitu : Khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih.


1. Khafi
Khafi ialah suatu lafadh yng terang maknanya secara lahiriah tetapi pemakaiannya kepada sebagian lafadhnya tidaklah mudah memerlukan pemikiran yang mendalam.
Sebab timbulnya khafi, ialah karena adanya sebagian satuan yang terkandung dalam lafadh itu yang mempunyai nama tersendiri atau mempunyai nama tersendiri atau mempunyai sifat-sifat tertentu yang membedakan dengan satuan yang lain.
2. Musykil
Musykil ialah lafadh yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksudkan, untuk menjelaskan maksudnya harus dibantu. Arti tidak mungkin diketahui kecuali dengan adanya dalil-dalil lain yang menjelaskan maksudnya. Sebab terjadinya musykil yaitu, karena lafadh tersebut mempunyai lebih dari satu arti yang berbeda, baik arti hakiki maupun arti majazi, dan lafadz itu sendiri tidak menentukan salah satu arti yang dimaksudkan. Atau terjadi pertentangan pemahamannya dengan pemahaman lain, maka tidak akan dapat dipahami arti yang dimaksudkan, kecuali dengan adanya dalil-dalil lain yang menjelaskannya.
3. Mujmal
Mujmal ialah lafadh yang terang arti yang dimaksudkan oleh karena keadaan lafadh itu sendiri, dan tidak mungkin dapat diketahui arti yang dimaksudkan itu kecuali dengan adanya penjelasan dari syara’.
4. Mutasyabih
Mutasyabih ialah lafadh yang tidak terang arti yang dimaksudkan karena pada lafadh itu sendiri dan tidak dapat qarinah yang menjelaskannya.

E. Fiqh Imam Abu Hanifah dan Metodologinya dalam Istinbat hukum
Fiqh Imam Abu Hanifah memiliki cara yang modern dan manhaj tersendiritersendiri dalam kancah perfiqihan dan tidak ada sebelumnya. Imam Asy Syafi’i berkata, “Semua orang dalam hal fiqh bergantung pada imam Abu Hanifah berkata, sungguh seorang yang ahli fiqh.”
Imam Abu Hanifah memiliki manhaj tersendiri dalam meng-istinbat hukum. Beliau pernah berkata, “Saya mengambil dari kitab Allah, jika tidak ada maka dari sunnah Rasulullah dan jika tidak ada pada keduanya saya akan mengambil pendapat sahabat. Saya memilih salah satu dan meninggalkan yang lain, dan saya tidak akan keluar dari pendapat mereka dan mengambil pendapat orang lain. Dan jika sudah sampai kepada pendapat Ibrahim, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Sa’id bin Al Musayyib maka saya akan berijtihad seperti mereka berijtihad”
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa manhaj Imam Abu Hanifah dalam meng-istinbat hukum adlah sebagai berikut;
a. Alquran, merupakan sumber utama syari’at dan kepadanya dikembalikan semua hukum dan tidak ada sumber hukum satu pun, kecuali dikembalikan kepadanya.
b. Sunnah, sebagai penjelas kandungan Alquran , menjelaskan yang global dan alat dakwah bagi Rasuluiiah SAW dalam menyampaikan Risalah Tuhannya. Maka barang siapa yang tidak mengamalkan sunnah, sama artinya ia tidak mengakui Risalah Tuhannya.
c. Pendapat Sahabat, karena mereka hidup satu zaman dengan Rasulullah SAW, lebih memahami sebab turunnya ayat, kesesuaian setiap ayat dan hadis, dan merekalah yang membawa ilmu Rasulullah SAW kepada umatnya.
d. Qiyas, beliau menggunakan qiyas ketika tidak ada nash Alquran atau sunnah atau ucapan sahabat, beliau menggali illat dan jika menemukannya ia akan mengujinya terlebih dahulu, lalu menetapkan dan menjawab masalah yang terjadi dengan menerapkan illat yang ditemukannya.
e. Al-Istihsan, yang meninggalkan qiyas zhahir terkadang tidak dapat diterapkan dalam sebagian masalah. Oleh karena itu, perlu mencari illat lain dengan cara qiyas khafi, atau karena qiyas zhahir bertentangan dengan nash sehingga harus ditinggalkan.
f. Ijma’, yang menjadi hujjah berdasarkan kesepakatan ulama walaupun mereka berbeda pendapat apakah ijma’ ini pernah ada setelah Rasulullah SAW.
g. Al-‘Urf (adat istiadat), yaitu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin dan tidak ada nash, baik dari Alquran, sunnah, atau pertbuatan sahabat, dan berupa adat yang baik, serta tidak bertentangan dengan nash sehingga dapat dijadikan hujjah.

Kesimpulan
Jadi istinbat hukum adalah menemukan dan mengambil hukum dari dari nash yang ada. Di dalam Istinbat hukum terdiri dari Istinbat Lafdzi yang berarti mengambil suatu hukum ditinjau dari segi lafadznya dan Istinbat Maknawi yang berarti mengambil suatu hukum ditinjau dari segi maknanya. Dan Manhaj dalam mengistinbat-kan hukum ada 7 ; Alquran, Sunnah, Pendapat Sahabat, Qiyas, Al-Istihsan, Ijma’, Al-‘Urf (adat istiadat).

Hukum Sihir Berdasarkan Alquran Dan Sunnah

Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia edisi terbaru dikeluarkan oleh Tim Prima Pena; Sihir adalah perbuatan yang tidak dapat diterima oleh akal, dilakukan untuk berbagai keperluan.
Melihat definisi sihir tersebut, terbesitlah pertanyaan apa/siapa yang tidak dapat diterima oleh akal kita? Untuk menjawab ini, kita harus berintropeksi diri. Sebab diterima atau tidaknya, kembali pada seberapa pengetahuan yang kita ketahui.
Belum lagi bila zaman semakin berkembang, besar kemungkinan akan terjawab semuanya. Bila kita melihat ini, berarti kita tidak dapat membuktikan akan kebenaran Alquran yang merupakan kitab hingga akhir zaman.


Macam-macam Sihir :

1 )Sihir yang terjadi melalui tipuan dan ilusi yang tidak mempunyai hakikat sama sekali, seperti apa yang dilakukan para pesulap yang memalingkan pandangan dari apa yang sedang dilakukannya dengan kecepatan tangan.

2) Sihir yang berlangsung dengan bantuan syaitan dengan cara melakukan pendekatan kepada mereka. Hal itu telah diisyaratkan oleh firman Allah Ta’ala
"Artinya : Hanya saja syitan-syaitan itu sajalah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia." [Al-Baqarah : 102]

Bertolak dari hal tersebut, Ada beberapa orang mereka memasukan kedalam sihir ini berbagai penemuan yang menakjubkan dan yang dihasilkan dari kecepatan tangan, serta usaha penggunjingan diantara umat manusia serta berbagai hal lain yang sebabnya tidak terlihat dan pintu masuknya sangat samar.

Hukum Sihir

oleh : Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Firman Allah Ta'ala (artinya): "Demi Allah, sesungguhnya orang-orang Yahudi itu telah meyakini bahwa barang siapa yang menukar (kitab Allah) dengan sihir, maka tidak akan mendapatkan bagian (keuntungan) di akherat." (Al-Baqarah: 102)
"Mereka beriman kepada jibt dan thaghut." (An-Nisa': 51)
Menurut 'Umar Radhiyallahu 'anhu: "Jibt ialah sihir, sedangkan thaghut ialah syaitan."
Kata Jabir: "Thaghut-thaghut ialah para tukang ramal yang didatangi syaitan; pada setiap kabilah ada seorang tukang ramal."
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Jauhilah tujuh perkara yang membawa kepada kehancuran." Para sahabat bertanya: "Apakah ketujuh perkara itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab: "Yaitu: syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sebab yang dibenarkan agama, memakan riba, memakai harta anak yatim, membelot (desersi) dalam peperangan dan melontar tuduhan zina terhadap wanita yang terjaga dari perbuatan dosa, tidak tahu-menahu dengannya dan beriman (kepada Allah)." (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan hadits marfu' dari Jundab:
"Hukuman bagi tukang sihir ialah dipenggal lehernya dengan pedang." (HR At-Tirmidzi, dan katanya: "Yang benar bahwa hadits ini mauquf.")
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Bajalah bin 'Abdah, ia berkata:
"Umar bin Al-Khaththab telah menetapkan perintah, yaitu: "Bunuhlah tukang sihir laki-laki maupun perempuan." Kata Bajalah selanjutnya: "Maka kami pun melaksanakan hukuman mati terhadap tiga tukang sihir perempuan."
Dan diriwayatkan dalam hadits shahih bahwa Hafshah Radhiyallahu 'anha telah memerintahkan agar seorang budak perempuan miliknya yang telah menyihirnya dihukum mati, maka dilaksanakanlah hukuman tersebut terhadap budak perempuan itu. Demikian pula diriwayatkan dari Jundab.
Kata Imam Ahmad: "Diriwayatkan dalam hadits shahih, bahwa hukuman mati terhadap tukang sihir, telah dilakukan oleh tiga orang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. (Mereka itu ialah: 'Umar, Hafshah, dan Jundab)
Kandungan tulisan ini:

1. Tafsiran ayat dalam surah Al-Baqarah. Ayat pertama menunjukkan bahwa sihir haram hukumnya dan pelakunya kafir; disamping mengandung suatu ancaman berat bagi orang yang berpaling dari Kitabullah dan mengamalkan amalan yang tidak bersumber darinya.
2. Tafsiran ayat dalam surah An-Nisa'. Ayat yang kedua menunjukkan bahwa ada diantara umat ini yang beriman kepada sihir (jibt), sebagaimana Ahli Kitab beriman kepadanya; karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa akan ada di antara umat ini yang mengikuti (dan meniru) umat-umat sebelumnya.
3. Pengertian jibt dan thaghut, serta perbedaan antara keduanya.
4. Thaghut, bisa jadi dari jenis jin dan bisa jadi dari jenis manusia.
5. Mengetahui tujuh perkara yang membawa kepada kehancuran, yang telah dilarang secara khusus.
6. Tukang sihir adalah kafir. Tukang sihir menjadi kafir karena dua sebab: pertama, menggunakan syaitan; dan kedua karena mengaku tahu perkara ghaib.
7. Tukang sihir dihukum mati tanpa diminta untuk bertaubat.
8. Jika praktek sihir telah ada di kalangan kaum muslimin pada masa khilafah 'Umar, bisa dibayangkan bagaimana pada masa sesudahnya?

Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid" karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Hukum Memotong Kuku Di Hari Jum’at

Memotong kuku hukumnya sunnah, tidak wajib. Dan yang dihilangkan adalah kuku yang tumbuh melebihi ujung jari, karena kotoran dapat tersimpan/tersembunyi di bawahnya dan juga dapat menghalangi sampainya air wudhu. Disenangi untuk melakukannya dari kuku jari jemari kedua tangan, baru kemudian kuku pada jari-jemari kedua kaki. Tidak ada dalil yang shahih yang dapat menjadi sandaran dalam penetapan kuku jari mana yang terlebih dahulu dipotong.

Ibnu Daqiqil Ied rahimahullahu berkata, “Orang yang mengatakan sunnahnya mendahulukan jari tangan daripada jari kaki ketika memotong kuku perlu mendatangkan dalil, karena kemutlakan dalil anjuran memotong (tanpa ada perincian mana yang didahulukan) menolak hal tersebut.”

Namun mendahulukan bagian yang kanan dari jemari tangan dan kaki ada asalnya, yaitu hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi memulai dari bagian kanan. (Lihat Fathul Bari 10/425, Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/241, Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fashl Hukmu Taqlimul Azhfar)

Tidak ada dalil yang shahih tentang penentuan hari tertentu untuk memotong kuku, seperti hadits:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ أَظْفَارِهِ وَشَارِبِهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi memotong kuku dan kumisnya pada hari Jum’at.”

Hadits ini merupakan salah satu riwayat mursal dari Abu Ja’far Al-Baqir, sementara hadits mursal termasuk hadits dhaif. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Dengan demikian memotong kuku dapat dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan. Al-Hafizh rahimahullahu menyatakan melakukannya pada setiap hari Jum’at tidaklah terlarang, karena bersungguh-sungguh membersihkan diri pada hari tersebut merupakan perkara yang disyariatkan. (Fathul Bari, 10/425)

Akan tetapi kuku-kuku tersebut jangan dibiarkan tumbuh lebih dari 40 hari karena hal itu dilarang, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيْمِ اْلأَظْفَارِ وَنَتْفِ اْلإِبْطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ أَنْ لاَ نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً

“Ditetapkan waktu bagi kami dalam memotong kumis, menggunting kuku, mencabut rambut ketiak dan mencukur rambut kemaluan, agar kami tidak membiarkannya lebih dari empat puluh malam.” (HR. Muslim no. 598)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata:
“Pendapat yang terpilih adalah ditetapkan waktu 40 hari sebagaimana waktu yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tidak boleh dilampaui. Dan tidaklah teranggap menyelisihi sunnah bagi orang yang membiarkan kuku/rambut ketiak dan kemaluannya panjang (tidak dipotong/dicukur) sampai akhir dari waktu yang ditetapkan.” (Nailul Authar, 1/163)

Adapun Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu mengatakan, “Makna hadits di atas adalah tidak boleh meninggalkan perbuatan yang disebutkan melebihi 40 hari. Bukan maksudnya Rasulullah Shallallahu ‘ alaihi wa sallam menetapkan waktu untuk mereka agar membiarkan kuku, rambut ketiak dan rambut kemaluan tumbuh selama 40 hari.” (Al-Minhaj 3/140, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 1/340)

Dalam memotong kuku boleh meminta orang lain untuk melakukannya, karena hal ini tidaklah melanggar kehormatan diri. Terlebih lagi bila seseorang tidak bisa memotong kuku kanannya dengan baik karena kebanyakan orang tidak dapat menggunakan tangan kirinya dengan baik untuk memotong kuku, sehingga lebih utama baginya meminta orang lain melakukannya agar tidak melukai dan menyakiti tangannya. (Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib, 1/243)

Faidah:

Apakah bekas potongan kuku itu dibuang begitu saja atau dipendam? Al-Hafizh rahimahullahu menyatakan bahwa Al-Imam Ahmad rahimahullahu pernah ditanya tentang hal ini, “Seseorang memotong rambut dan kuku-kukunya, apakah rambut dan kuku-kuku tersebut dipendam atau dibuang begitu saja?”
Beliau menjawab, “Dipendam.” Ditanyakan lagi, “Apakah sampai kepadamu dalil tentang hal ini?” Al-Imam Ahmad rahimahullahu menjawab, “Ibnu ‘Umar memendamnya.”

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari hadits Wa`il bin Hujr disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memendam rambut dan kuku-kuku. Alasannya, kata Al-Imam Ahmad rahimahullahu, “Agar tidak menjadi permainan tukang sihir dari kalangan anak Adam (dijadikan sarana untuk menyihir, pent.).” Al-Hafizh rahimahullahu juga berkata, “Orang-orang yang berada dalam madzhab kami (madzhab Asy-Syafi’i, pent.) menyenangi memendam rambut dan kuku (karena rontok atau sengaja dipotong, pent.) karena rambut dan kuku tersebut merupakan bagian dari manusia. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 10/425)

Definisi Manhaj

Manhaj menurut bahasa artinya jalan yang jelas dan terang. Allah Ta'ala berfirman:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

"Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang." (Al-Maa-idah, QS 5: 48)

Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Maksudnya, jalan dan syari'at." [1]

Sedang menurut istilah, manhaj ialah kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi setiap pembelajaran ilmiyyah, seperti kaidah-kaidah bahasa Arab, ushul 'aqidah, ushul fiqih, dan ushul tafsir dimana dengan ilmu-ilmu ini pembelajaran dalam Islam beserta pokok-pokoknya menjadi teratur dan benar.[2]

Manhaj artinya jalan atau metode. Dan manhaj yang benar adalah jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut pemahaman para Shahabat. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan hafizhahullah menjelaskan perbedaan antara 'aqidah dan manhaj, beliau berkata, "Manhaj lebih umum daripada 'aqidah. Manhaj diterapkan dalam 'aqidah, suluk, akhlak, muamalah, dan dalam semua kehidupan seorang Muslim. Setiap langkah yang dilakukan seorang Muslim dikatakan manhaj. Adapun yang dimaksud dengan 'aqidah adalah pokok iman, makna dua kalimat syahadat, dan konsekuensinya. Inilah 'aqidah. [3]

Kedua: Definisi Salaf Menurut Bahasa

Salaf berasal dari kata salafa-yaslufu-salafan, artinya adalah: telah lalu. Kalimat yang berbunyi al-qaum as-sullaaf, artinya kaum yang terdahulu. Sedangkan kalimat salafur rajuli, artinya: bapak-bapak mereka yang terdahulu. Bentuk jamaknya adalah aslaaf dan sullaaf.

Di antaranya juga kata as-sulfah, artinya: makanan ringan yang dimakan sebelum sarapan. At-Tasliif, artinya pendahuluan, sedangkan as-saalif dan as-saliif, artinya: orang yang terdahulu. Dan kata sulaafah, artinya: segala sesuatu yang engkau peras ialah awalnya. [4]

Kata Salaf juga bermakna: seseorang yang telah mendahului (terdahulu) dalam ilmu, iman, keutamaan, dan kebaikan. Ibnu Manzhur rahimahullah mengatakan, "Salaf juga berarti orang yang mendahului anda, baik dari bapak maupun orang-orang terdekat (kerabat) yang lebih tua umurnya dan lebih utama. Karena generasi pertama dari umat ini dari kalangan para Tabi'in disebut sebagai as-Salafush Shalih." [5]

Masuk juga dalam pengertian secara bahasa, yaitu sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada anaknya, Fathimah az-Zahra radhiyallahu 'anha:
"Sesungguhnya sebaik-baik Salaf (pendahulu) bagimu adalah aku." [HR. Muslim no. 2450 (98)]

Definisi Salaf

Pengertian Salaf Secara Bahasa (Etimologi):

Yaitu, apa yang telah berlalu dan mendahului, seperti ungkapan: “Salafa asy-syai-u”, “Salafan” artinnya “madha” (telah berlalu). Dan “Salaf” artinya sekelompok pendahulu atau suatu kaum yang mendahului dalam perjalanan.
Allah Ta’ala berfirman, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami jadikan mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi orang-orang yang kemudian.” (Az-Zukhruuf: 55-56).

Maksudnya adalah Kami (Allah) menjadikan orang-orang terdahulu itu sebagai contoh bagi orang yang hendak berbuat seperti perbuatan mereka, agar generasi setelah mereka mengambil pelajaran dan teladan darinya.

Jadi makna Salaf adalah orang yang telah mendahului anda baik itu nenek moyang maupun kerabat keluarga anda, dimana mereka di atas anda baik dari segi umur ataupun kebaikannya. Oleh karena itu, generasi pertama dari kalangan Tabi’in dinamakan “as-Salafush Shalih. (Lihat kamus bahasa Arab: Taajul ‘Aruus, Lisaanul ‘Arab dan al-Qaamuusul Muhuth: (bab:Salafa).


Pengertian Salaf Secara Istilah (Terminologi):

Kata “Salaf” menurut kalangan ulama aqidah, teriminologinya sekitar ‘Sahabat’, atau ‘Sahabat dan Tabi’in atau ‘Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in’ yang hidup di masa (tiga abad pertama) yang dimuliakan dari kalangan para imam yang telah diakui keimanannya, kebaikannya, kepahamannya terhadap as-Sunah dan keteguhannya dalam menjadikan as-Sunnah sebagai pedoman hidupnya, menjauhi bid’ah, dan dari orang-orang yang telah disepakati oleh ummat tentang keimanan mereka serta keagungan kedudukan mereka dalam agama. Oleh karena itu, generasi permulaan Islam dinamakan “as-Salafush Shalih”.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukakan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nissa’: 115).

Firman-Nya pula, ““Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara

orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka Surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100).

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah (orang yang hidup) pada masaku ini (yaitu generasi Sahabat), kemudian yang sesudahnya (generasi Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (generasi Tabi’ut Tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (HR. Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 (212), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud r.a.).

Pemimpin Salafush Shalih Adalah Rasulullah SAW

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil.” (Al-Fat-h: 29).

Allah Ta’ala telah memadukan antara ketaatan kepada-Nya dan ketaatan kepada Rasul-Nya SAW, dengan berfirman-Nya, “Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (An-Nisaa’: 69).

Allah menjadikan ketaatan kepada Rasul SAW merupakan konsekuensi dari ketaatan kepada Allah Ta’ala. Firman-Nya, “Barangsiapa mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”( An-Nissa’: 80).

Allah Ta’ala mengabarkan bahwa ketidaktaatan kepada Rasul dapat menggugurkan dan membatalkan amal perbuatan seseorang. Firman-Nya, ““Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (Muhammad: 33).

Dan Dia melarang kita melanggar perintah Rasul SAW. Firman-Nya, “Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul_nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api Neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisaa’: 14)



Allah Ta’ala menyuruh kita agar menerima apa yang diperintahkan oleh Rasul SAW dan meninggalkan apa yang dilarangnya. Allah Ta’ala befirman: “.....Apa yang diberkan Rasul kepadamu maka terimalah dia! Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah! Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7).



Allah Ta’ala memerintahkan kita agar mengangkat beliau SAW sebagai hakim (penengah) dalam segala aspek kehidupan kita dan mengembalikan semua hukum kepada hukum dan peraturan beliau. Allah SWT berfirman :

“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perakara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa’: 65).

Allah Ta’ala sudah menyampaikan kepada kita bahwa Nabi-Nya SAW adalah sosok suri teladan dan contoh terbaik; dimana konsekuensinya adalah beliau harus diikuti dan diteladani. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiaman dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzaab: 21)

Allah menyertakan keridhaan-Nya bersamaan dengan keridhaan Rasul-Nya SAW, sebagaimana firman-Nya:

“....Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya, jika mereka adalah orang-orang yang mukmin.” (At-taubah: 62).

Allah pun menjadikan tindakan mengikuti Rasul-Nya SAW sebagai tanda kecintaan kepada-Nya. Firman-Nya:

“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31).

Oleh karena itu, rujukan Salafush Shalih ketika terjadi perselisihan adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya SAW, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala :“.....Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisaa’ : 59).

Sebaik-baik Salaf setelah Rasulullah SAW adalah para Sahabat, yaitu mereka yang telah mengambil agamanya dari beliau SAW secara benar dan penuh keikhlasan, seabagaimana Allah Ta’ala telah menjelaskan sifat mereka dalam Kitab-Nya yang mulia, dengan firman-Nya, “Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka diantara mereka yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya).” (Al-Ahzaab: 23).

Kemudian orang-orang yang datang setelah mereka, dari tiga generasi pertama yang dimuliakan, seperti yang disabdakan Rasulullah SAW tentang mereka, “Sebaik-baik manusia adalah (orang yang hidup) pada masaku ini (yaitu generasi para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (generasi Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (generasi Tabi’ut Tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (HR. Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 (212), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud r.a).

Oleh karena itu, para Sahabat dan Tabi’in itulah yang lebih berhak untuk diikuti daripada lainnya, dikarenakan kejujuran mereka dalam keimanan, dan keikhlasan mereka dalam beribadah merekalah penjaga (kemurnian) ‘aqidah, penlindung syari’at dan pelaksanaannya baik secara perkataan maupun perbuatan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memilih mereka untuk menyebarkan agama-Nya dan menyampaikan Sunnah Rasul-Nya SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

Nabi SAW bersabda, “.... Ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di dalam Neraka kecuali satu golongan.” Lalu para Sahabat bertaanya: ‘Wahai Rasulullah, siapa dia? Beliau menjawab: ‘Yaitu mereka berada apa yang telah ditempuh olehku dan Sahabatku.’” (Shahih Sunan at Tirmidzi oleh Imam al-Albani). (HR. At-Tirmidzi no. 2641 dan al-Hakim (I/129) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ no. 5343).

Bagi siapapun yang mendikuti jejak Salafush Shalih dan berjalan di atas manhaj mereka di semua zaman dinamakan: “Salafi,” dinisbahkan kepada mereka, dan sebagai pembeda antara dia dengan orang-orang yang menyelisihi manhaj Salaf dan mengikuti selain jalan mereka.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan kami masukkan ia ke adalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisaa’: 115).

Oleh karena itu, seorang Muslim sudah seharusnya untuk merasa bangga dengan penisbatan dirinya kepada mereka (Salafush Shalih).

Lafazh “Salafiyyah” menjadi sebutan pada penerapan metode Salafush Shalih dalam mengambil (ajaran) Islam, memahami dan Mengamalkannya. Dengan demikian, maka pengertian “Salafiyyah” itu ditunjukkan kepada orang-orang yang berpegang teguh sepenuhnya terhadap al-Qur-an dan Sunnah Rasulullah SAW dengan pemahaman Salaf.

umber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy(Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm.39--48.

Selasa, 21 Februari 2012

Definisi Ittiba

Ittiba’ secara bahasa berarti iqtifa’ (menelusuri jejak), qudwah (bersuri teladan) dan uswah (berpanutan). Ittiba’ terhadap Al-Qur’an berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai imam dan mengamalkan isinya. Ittiba’ kepada Rasul berarti menjadikannya sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri langkahnya. (Mahabbatur Rasul, hal.101-102). Adapun secara istilah ittiba’ berarti mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : “Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’ (Ibnu Abdilbar dalam kitab Bayanul ‘Ilmi, 2/143). Allah memerintahkan agar semua kaum muslimin ber-ittiba’ kepada Rasulullah SAW, seperti Firman-Nya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik., (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab:21) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini : “Ayat ini merupakan azas pokok lagi agung dalam bersuri teladan kepada Rasulullah SAW dalam segala ucapan, perbuatan dan hal ihwalnya…”(Tafsir Ibnu Katsir, 3/475). Sedangkan Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Al-Hadits Al-Hujjatun bi Nafsihi pada hal.35 menyatakan : “Ayat ini memberi pengertian bahwa Rasulullah SAW adalah panutan kita dan suri teladan bagi kita dalam segala urusan agama…” Ibnu Qoyyim-rahimulloh – dalam kitabnya I’lamu Muwaqqi’in 2/139 menukil ucapan Abu Daud -rahimahullah- , beliau berkata:” Aku mendengar imam Ahmad bin hanbal -rahimahullah- menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rosulullah SAW dan para Shohabat RA .” Dari perkataan para imam diatas, dapat dipahami bahwa yang dinamakan ittiba’ ialah mengikuti Al Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah dengan pemahaman salaful ummah, karena dua perkara ini adalah hujjah yang qathiyyah sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Oleh karena itu Imam Ahmad bin hambal berkata:’ Janganlah engkau taqlid kepadaku, kepada malik, Sufyan Ats Tsauri dan Al Auza’I, tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” {lihat: A’lamul Muwaqi’in 2/139} Sedangkan para imam yang disebut oleh imam ahmad diatas, tidak pernah mengambil pendapat rijal (orang-orang) tapi mereka mengambilnya dai Al Qur’an dan As Sunnah ash shahihah lengkap dengan perkataan para Sahabat RA . Jika ada orang-orang yang mengikuti mereka (para imam) dengan dalil dan hujjah yang mereka ambil, maka dia adalah seorang muttabi’. Demikian pula jika ada orang yang mengikuti Syaikh Muhamamd Nashiruddin Al Albani , Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baaz , Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin -rahimakumullah- atau ulama yang lainnya karena berdasarkan hujjah dari Al Qur’an dan Assunnah dengan pemahaman salaful Ummah yang ada pada mereka, maka orang ini yang mengikuti para ulama tersebut adalah seorang muttabi’. Ber-uswah kepada Rasulullah saw ialah mengerjakan sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh beliau, baik berupa amalan sunnah atau pun wajib dan meninggalkan semua yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW baik perkara itu makruh, apalagi yang haram. Jika beliau SAW mengucapkan suatu ucapan, kita juga berucap seperti ucapan beliau, jika beliau mengerjakan ibadah, maka kita mengikuti ibadah itu dengan tidak ditambah atau dikurangi. Jika beliau menganggungkan sesuatu, maka kita juga mengagungkannya. Begitu pula jika Rasulullah SAW meninggalkan sesuatu maka kita juga harus meninggalkan selama perbuatan atau ucapan tersebut bukan suatu kekhususan bagi beliau Rasulullah SAW. Dan jika beliau mengagungkan sesuatu maka kita juga mengagungkannya, dan demikian seterusnya. Jadi, beruswah kepada Rasulullah SAW berarti kita mengesakannya dalam hal mutaba’ah (mengikuti) sebagaimana kita mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam beribadah. Hal ini merupakan konsekuensi dari ucapan syahadat Laa Ilaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadan rasulullah, jika hilang salah satu hal dari diri seseorang kedua kalimat persaksian tersebut maka belum dapat dikatakan seseorang tersebut sebagai muslim. Namun perlu diperhatikan bahwa mustahil seseorang itu ber-uswah atau ber-ittiba’ kepada Rasulullah saw jika dia jahil (bodoh) terhadap sunnah-sunnah dan petunjuk-petunjuk Rasulullah saw. Oleh sebab itu jalan satu-satunya untuk ber-uswah kepada Rasulullah adalah dengan mempelajari sunnah-sunnah beliau – ini menunjukkan bahwa atba’ (pengikut Rasul) adalah ahlul bashirah (orang yang berilmu). Selain itu, cukup banyak ayat-ayat Al-Qur’an agar kita senantiasa mengikuti sunnah berkaiatan dengan Ittiba' seperti : “Barangsiapa yang menta’ati Rasul berarti dia menta’ati Allah.. ” (An-Nisa’:80) “Barangsiapa yang ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya Allah akan memasukkannya ke dalam Syurga…” (An-Nisa’:13) … dan ayat-ayat yang lainnya. Dan perkataan Rasulullah merupakan perkataan yang harus dipercaya, sebab “Dan tidaklah ia berkata-kata dari hawa nafsunya melainkan wahyu yang disampaikan Allah kepadanya.” (An-Najm:4) Bahkan Rasulullah mengingkari orang-orang yang beramal tetapi mereka tidak mau mencontoh seperti apa yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah : “Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim, 1718). Dalam hadits ini ada faedah penting, yaitu : Niat yang baik semata tidak dapat menjadikan suatu amalan menjadi lebih baik dan akan diterima di sisi Allah , akan tetapi harus sesuai dengan cara yang pernah diajarkan oleh Rasulullah saw. Oleh sebab itu Nabi menutup jalan bagi orang yang suka mengada-ngada dalam ibadah dengan ucapan : “Siapa yang benci (meninggalkan) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku“.(HR. Bukhari). Dan ini berlaku bagi seluruh sunnah yang telah ditetapkan beliau. Maka dengan demikian kedudukan ittiba’ (mengikuti contoh kepada Ralullah saw) dalam Islam adalah wajib, setiap orang yang mengaku muslim mesti meninggikannya, bahkan ia merupakan pintu bagi seseorang setelah masuk Islam. Sehingga Ittiba’ kepada Rasulullah adalah salah satu syarat agar diterimanya amal seseorang. Sedangkan syarat diterimanya ibadah seseorang yang disepakati oleh para ulama, ada dua: Pertama, mengikhlaskan niat ibadah hanya kepada Allah. Kedua, harus mengikuti dan cocok dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW. Imam Al Baihaqi -rahimahullah- mengatakan:” Jika ittiba’ kepada Rasulullah SAW merupakan suatu kewajiban dan tidak ada cara lain untuk bisa berittiba’ kepada sunnah beliau kecuali dengan mengilmuinya, maka tidak ada jalan lain untuk bisa mengilmuinya kecuali dengan menerima semua apa yang datang dari beliau. Oleh sebab itu beliau memerintahkan umatnya untuk mengajarkan dan mendakwahkan sunnah kepada ummat.” [lihat Al I’tiqod Wal Hidayah Ila Sabili Ar Rasyad hal 154] Sunnah Rasulullah SAW dibagi menjadi dua yaitu: Sunnah fi’liyah dan sunnah tarqiyyah. Segala sesuatu yang dikerjakan Rasulullah SAW termasuk sunnah yang kita kerjakan selama bukan merupakan kekhususan bagi beliau. Sunnah ini yang yang dinamakan sunnah fi’liyah. Sedangkan segala sesuatu yang ditinggalkan beliau adalah termasuk sunnah untuk kita tinggalkan dan ini dinamakan sunnah tarkiyyah. Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hambali -rahimahullah- dalam kitabnya Fadllu ‘Ilmi Salaf hal 31 beliau berkata”…Segala sesuatu yang disepakati oleh salafush shalih untuk ditinggalkan maka tidak boleh diamalkan karena mereka tidak akan meninggalkan suatu amalan karena mereka tahu bahwa amalan itu tidak dikerjakan Rasulullah SAW “ Dasar kaidah sunnah tarkiyyah ini diambil dari beberapa dalil. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori -rahimahullah- (no 5063) dan Imam Muslim -rahimahullah- (no 1401) dari anas bin malik -Rodliallohu anhu- , dia berkata : ”Datang tiga orang ke rumah istri Rasulullah SAW . Ketika mereka dikabari tentang ibadah Rasulullah SAW mereka merasa bahwa ibadah mereka amat sedikit. Oleh karena itu mereka mengatakan’Ada apanya kita dibanding Rasulullah SAW? padahal beliau telah diampuni oleh Allah dosanya yang lalu maupun yang akan datang’, salah satu diantara mereka berkata,’Saya akan sholat semalam suntuk selama-lamanya’ yang lainya berucap,’ Saya akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan berbuka.’ dan yang lainnya berkata,’saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya’ (mendengar hal ini) Rasulullah SAW pun bersabda,”Kalian mengucapkan begini dan begitu?! Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling taqwa kepadaNya, namun aku berpuasa juga berbuka, aku sholat dan juga tidur serta aku pun menikahi wanita. Maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku maka dia bukan dari golonganku” [HR Bukhori dan Muslim] Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid -Hafidlahullah- dalam kitabnya Ilmu Ushulil Bida’ hal 108 menjelaskan hadits tersebut :’Hadits ini secara jelas mengisyaratkan tentang usaha tiga orang yang tersebut dalam hadits untuk mengerjakan ibadah-ibdah yang pada dasarnya memang disyariatkan, namun kaifiyyah (tata cara) yang tidak pernah dilakukan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam . Puasa pada asalnya ibadah yang dianjurkan. Qiyamul Lail pun asalnya dalah ibadah yang disukai . Tetapi kaifiyah dan sifat ibadah yang akan dilakukan oleh tiga orang tadi ditinggalkan oleh Rasulullah SAW .dalam praktek ibadahnya dan tidak pernah diajarkan oleh beilau, maka beliau pun mengingkari perbuatan mereka. Pengingkaran Rasulullah SAW tesebut sesuai sabda beliau, "barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak.”[HR Muslim 1718]. “ Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah dalam kitabnya Zaadul Ma’ad 1/69-70 mengatakan :”Kalau kebahagian seorang hamba di dunia dan akherat tergantung dengan petunjuk Rasulullah SAW maka wajib bagi setiap hamba yang ingin mendapatkannya untuk mengetahui dan memahami Sunnah Rasulullah SAW , petunjuk-petunjuk dan jalan hidup beliau sehingga dapat digolongkan sebagai atba’ (pengikut) beliau..” Setelah mempelajari sunnah-sunnah beliau Rasulullah SAW , maka wajib bagi kita selanjutnya adalah tathbiqu Sunnah (mengamalkan sunnah) baik secara individu maupun masyarakat. Di dalam menjalankan sunnah ini tidak boleh hanya mengamalkan sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya. Tidak boleh hanya mementingkan sholat saja tanpa mengamalkan yang lain, begitu juga tidak boleh mementingkan akhlak saja namun tauhidnya tidak. Akan tetapi harus mengamalkan sunnah Rasulullah SAW baik yang berkaitan dengan masalah I’tiqod, ibadah, muamalah, akhlaq, adab, hubungan sosial ataupun lainnya. Salah satu cara dalam tahthbiqu sunnah adalah dengan menyebarkan ilmu syar’i yang telah diwariskan Rasulullah SAW kepada ummat. Jadi merupakan kewajiban bagi setiap orang yang mempunyai illmu syari tersebut untuk meyampaikan dan mendakwahkan kepada ummat tentang sunnah. Sekarang setelah kita mengetahui definisi dari Ittiba', hukum dari ittiba', maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana ittiba' kepada sahabat RA, sebagaimana seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qoyyim-rahimulloh – dalam kitabnya I’lamu Muwaqqi’in 2/139 menukil ucapan Abu Daud -rahimahullah- , beliau berkata:” Aku mendengar imam Ahmad bin hanbal -rahimahullah- menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rosulullah SAW dan para Shohabat RA ., yang mana ittiba' para sahabat adalah mengikuti Rasul, dan juga mengikuti Al Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah dengan pemahaman mereka (salaful ummah), karena dua perkara ini adalah hujjah yang qathiyyah sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Sebagaimana kita ketahui dari penjelasan diatas bahwa Ittiba' para sahabat (ittiba' salaf) adalah mengikuti sunnah para sahabat (ulama salaf) tersebut. Selanjutnya bagaimanakan kita mengikuti sunnah para sahabat, yaitu dengan mengikuti kaidah-kaidah mereka dalam memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tersebut, yang mana para sahabat ini memiliki keunggulan dalam memahami nash Al Quran serta hadits Rasulullah, dikarenakan kemampuan mereka dan keunggulan bahasa Arab mereka, melebihi orang-orang dari luar Arab dalam melafazhkan dan memahami nash (yang tertuliskan dalam bahasa Arab itu) Jadi pemahaman Ittiba' saat ini selain dengan pengertian yang sudah dijelaskan sebelumnya diatas yaitu, mengikuti apa yang datang dari Rasulullah SAW dan para Shohabat RA, juga dengan cara memahami Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW, dengan menggunakan manhaj-manhaj para sahabat (salaf), seperti mengikuti kaidah-kaidah yang harus dipakai dalam memahami dan menafsirkan nash-nash dan mengkompromikan nash-nash jika terjadi perbedaan dan pertentangan, terutama setelah menyebarnya Islam di luar Arab dan lemahnya penguasaan mereka terhadap bahasa Arab, juga belajar bagaimana cara mengistimbat hukum dengan benar sesuai yang diajarkan oleh Manhaj Salaf (yaitu mengikuti mereka tentang kaidah-kaidah di dalam menafsirkan dan men takwil kan nash, dan dasar-dasar ijtihad dalam memahami prinsip-prinsip dasar hukum Islam)

Hukum Hitam di Dahi/bekas Sujud?

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ Yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih say...ang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud” (QS al Fath:29). Banyak orang yang salah paham dengan maksud ayat ini. Ada yang mengira bahwa dahi yang hitam karena sujud itulah yang dimaksudkan dengan ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’. Padahal bukan demikian yang dimaksudkan. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tanda mereka…” adalah perilaku yang baik. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang kuat dari Mujahid bahwa yang dimaksudkan adalah kekhusyukan. Juga diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Qatadah, beliau berkata, “Ciri mereka adalah shalat” (Tafsir Mukhtashar Shahih hal 546). عَنْ سَالِمٍ أَبِى النَّضْرِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ قَالَ : مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ : أَنَا حَاضِنُكَ فُلاَنٌ. وَرَأَى بَيْنَ عَيْنَيْهِ سَجْدَةً سَوْدَاءَ فَقَالَ : مَا هَذَا الأَثَرُ بَيْنَ عَيْنَيْكَ؟ فَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَهَلْ تَرَى هَا هُنَا مِنْ شَىْءٍ؟ Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698) عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ رَأَى أَثَرًا فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنَّ صُورَةَ الرَّجُلِ وَجْهُهُ ، فَلاَ تَشِنْ صُورَتَكَ. Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3699). عَنْ أَبِى عَوْنٍ قَالَ : رَأَى أَبُو الدَّرْدَاءِ امْرَأَةً بِوَجْهِهَا أَثَرٌ مِثْلُ ثَفِنَةِ الْعَنْزِ ، فَقَالَ : لَوْ لَمْ يَكُنْ هَذَا بِوَجْهِكِ كَانَ خَيْرًا لَكِ. Dari Abi Aun, Abu Darda’ melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal ‘kapal’ yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik” (Riwayat Bahaqi dalam Sunan Kubro no 3700). عَنْ حُمَيْدٍ هُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ إِذْ جَاءَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ سُهَيْلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ : قَدْ أَفْسَدَ وَجْهَهُ ، وَاللَّهِ مَا هِىَ سِيمَاءُ ، وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ عَلَى وَجْهِى مُذْ كَذَا وَكَذَا ، مَا أَثَّرَ السُّجُودُ فِى وَجْهِى شَيْئًا. Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701). عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ قُلْتُ لِمُجَاهِدٍ (سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ) أَهُوَ أَثَرُ السُّجُودِ فِى وَجْهِ الإِنْسَانِ؟ فَقَالَ : لاَ إِنَّ أَحَدَهُمْ يَكُونُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مِثْلُ رُكْبَةِ الْعَنْزِ وَهُوَ كَمَا شَاءَ اللَّهُ يَعْنِى مِنَ الشَّرِّ وَلَكِنَّهُ الْخُشُوعُ. Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702). Bahkan Ahmad ash Showi mengatakan, “Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan tukang riya’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (baca: ahli bid’ah)” (Hasyiah ash Shawi 4/134, Dar al Fikr). Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”. Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku. Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”. Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda, يَخْرُجُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ رِجَالٌ كَانَ هَذَا مِنْهُمْ هَدْيُهُمْ هَكَذَا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ثُمَّ لاَ يَرْجِعُونَ فِيهِ سِيمَاهُمُ التَّحْلِيقُ لاَ يَزَالُونَ يَخْرُجُونَ “Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun alQur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. Ciri khas mereka adalah plontos kepala. Mereka akan selalul muncul” (HR Ahmad no 19798, dinilai shahih li gharihi oleh Syeikh Syu’aib al Arnauth). Oleh karena itu, ketika kita sujud hendaknya proporsonal jangan terlalu berlebih-lebihan sehingga hampir seperti orang yang telungkup. Tindakan inilah yang sering menjadi sebab timbulnya bekas hitam di dahi.

Senin, 20 Februari 2012

Candanya Para Ulama (Syaikh al-Albani, Syaikh Ibn Baz & Syaikh Ibn ‘Utsaimin rahimahumullah)

1. Ada seorang pemuda penuntut ilmu pernah naik mobil bersama Syaikh al-Abani rahimahullah. Syaikh al-Abani mengemudi mobilnya dengan kecepatan tinggi. Melihatnya, maka pemuda itupun menegur:”Wahai Syaikh,ini namanya ‘ngebut’ dan hukumnya tidak boleh. “Syaikh ibnu Baz mengatakan bahwa hal ini termasuk menjerumuskan diri dalam kebinasaan. Mendengarnya, Syaikh al-Albani rahimahullah tertawa lalu berkata:”Ini adalah fatwa seseorang yang tidak merasakan nikmatnya mengemudi mobil!!.” Pemuda itu berkata: “Syaikh, akan saya laporkan hal ini kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz.” Jawab Syaikh al-Abani;”Silahkan,laporkan saja.” Pemuda itu melanjutkan ceritanya: “Suatu sa’at, saya bertemu dengan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah di Makkah maka saya laporkan dialog saya dengan Syaikh al-Abani rahimahullah tersebut kepada beliau.Mendengarnya, beliau juga tertawa seraya berkata: ‘Katakan padanya:”ini adalah fatwa seseorang yang belum merasakan enaknya terkena denda!” (Al-Imam Ibnu Baz,Abdul Aziz as-Shadan hlm.73) 2. Diceritakan bahwa suatu ketika Raja Khalid rahimahullah mengunjungi rumah Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah, sebagaimana kebiasaan para raja sebagai sikap menghormati dan memuliakan para ulama. Dan ketika sang Raja melihat rumah Syaikh yg sangat sederhana maka raja menawarkan kepada Syaikh untuk dibangunkan sebuah rumah untuk beliau, Syaikh berterimakasih dan berkata:”Saya sedang membangun rumah di daerah As-Salihiyah (wilayah Unayzah, Qasim), bagaimanapun mesjidnya dan panti sosialnya membutuhkan bantuan (dana)” Maka setelah sang Raja pergi, beberapa orang yg ikut dlm pertemuan itu berkata: “Wahai Syaikh, kami tidak mengetahui kalau anda sedang membangun rumah di As-Salihiyah?” Maka Syaikh menjawab: “Bukankah pekuburan ada di As-Salihiyah?” (Ad-Dur Ath-Thamin Fi Tarjamti Faqihil Ummah Al-`Allamah ibn Utsaimin – p.218) 3. Ada salah seorang suami dari cucu Syaikh Ibnu Baz menemui beliau dan berkata, “Wahai Syaikh, kami ingin agar engkau mengunjungi dan makan di rumah kami”. Jawaban beliau, “Tidak masalah, jika engkau menikah untuk kedua kalinya maka kami akan datang ke acara walimah insya Allah”. Setelah pulang, orang ini bercerita kepada istrinya tentang apa yang dikatakan oleh kakeknya. Kontan saja cucu perempuan dari Syaikh Ibnu Baz buru-buru menelpon kakeknya. “Wahai Syeikh, apa maksudnya?”. Ibnu Baz berkata kepada cucunya, “Kami hanya guyon dengan dia. Kami tidak mengharuskannya untuk nikah lagi. Kami akan berkunjung ke rumahmu meski tidak ada acara pernikahan”. (www.ustadzaris.com) 4. Abdullah bin Ali Al-Matawwu’ menceritakan bahwa dia menemani Syaikh Ibn Utsaimin (dari Unayzah) menuju Al-Bada-i yg jaraknya 15 km dari Unayzah untuk memenuhi undangan makan siang. Setelah makan siang, ketika mereka dlm perjalanan pulang mereka melihat seorang dgn jenggot berwarna merah (mungkin dicelup dgn hinna) dgn wajah tenang melambaikan tangan (mencari tumpangan). Syaikh berkata: “Pelanlah! kita akan mengajaknya bersama kita” Maka Syaikh berkata kpd orang itu: “Engkau mau kemana?” Orang itu menjawab: “Ajak aku bersama kalian ke Unayzah” Syaikh berkata: “Dengan dua syarat, pertama engkau tidak boleh merokok, kedua engkau harus mengingat Allah” Orang itu menjawab: “Masalah rokok, aku tidak merokok, walaupun tadi aku menumpang seseorang yg merokok dan (karena itu) aku minta diturunkan disini, dan tentang mengingat Allah maka tidak ada muslim kecuali dia mengingat Allah” Maka orang itu naik ke mobil (Terlihat jelas sepanjang perjalanan bahwa) orang itu tidak menyadari kalau dia sedang bersama Syaikh Ibn Utsaimin. Ketika tiba di Unayzah orang itu berkata:”Tunjukkan padaku rumah Syaikh Ibn Utsaimin, karena aku punya pertanyaan yg ingin aku tanyakan pada beliau” maka Syaikh berkata:”Kenapa tidak engkau tanyakan pada beliau ketika engkau bertemu dgn beliau di Al-Bada-i?” Orang itu berkata:”Aku tidak bertemu dgn beliau” Syaikh berkata:”Aku melihat sendiri engkau berbicara dgn beliau dan memberi salam kpdnya” Orang itu berkata:”Engkau mempermainkan orang yg lebih tua dari orang tuamu!” Syaikh tersenyum dan berkata kpdnya:”Shalat Ashar-lah di mesjid ini (Jami’ Unayzah) nanti engkau akan melihat beliau” Orang itu pergi tanpa mengetahui bahwa tadi dia sedang berbicara dgn Syaikh Ibn Utsaimin sendiri. Setelah dia selesai shalat Ashr, orang itu melihat Syaikh didepan selesai mengimami shalat jama’ah, maka dia bertanya (pada orang lain) tentang beliau, dan diberitahukan kpdnya bahwa Syaikh itu adalah Syaikh Ibn Utsaimin. Maka orang itu mendekati Syaikh dan meminta maaf karena tidak mengenali beliau tadi(diperjalanan), kemudian dia menyampaikan pertanyaannya. Syaikh pun menjawab pertanyannya, dan orang itu mulai menangis memohon kpd Syaikh. (Al-Jami’ li Hayaat Al-`Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin – p.38) 5. Jika ada seorang yang berkunjung ke rumah Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, maka beliau pasti menawari orang tersebut untuk turut makan malam bersama beliau. Jika orang tersebut beralasan, “Wahai Syaikh, saya tidak bisa” maka dengan nama berkelakar Ibnu Baz berkata, “Engkau takut dengan istrimu ya?! Marilah makan malam bersama kami”. (www.ustadzaris.com) 6. Dalam pelajaran fiqih, ketika membahas tentang cacat di dalam pernikahan, seorang murid bertanya kepada Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah : “Wahai syaikh, bagaimana seandainya ada seorang laki-laki menikah, ternyata setelah itu ketahuan istrinya tidak punya gigi, bolehkah dia mencerainya?” Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab : “Itu istri yang sangat istimewa!! Karena dia tidak muungkin dapat menggigitmu!!” (Majalah al-Furqon) 7. Ketika Syaikh Ibnu Baz rahimahullah hendak rekaman untuk acara Nurun ‘ala Darb (acara tanya jawab di radio Al Qur’an Al Karim di Saudi), biasanya beliau melepas kain sorbannya dan dengan nada canda beliau berkata, “Siapa yang mau memikul amanah?”. Jika ada salah seorang yang ada di tempat tersebut mengatakan, “Saya” maka beliau berkata, “Silahkan ambil”. (www.ustadzaris.com) 8. Seseorang bertanya kepada Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah: “Ada sebuah Hadist mengatakan : ‘Tidak ada pertaruhan dalam perlombaan kecuali lomba panah,atau onta, atau kuda’. Apa pendapat anda mengenai orang yang menyelenggarakan lomba untuk ayam dan merpati?” Beliau menjawab: “Wallahi- Ya akhiy- Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam berkata “Tidak ada pertaruhan dalam perlombaan kecuali lomba panah,atau onta, atau kuda”.”As-Sabaq” disini bermakna “Al-’audh”(mengganti). Karena hal-hal ini membantu dalam kondisi peperangan. Karena ada faidah (manfaat) darinya.Pembuat syariat membolehkan berlomba pada hal tersebut.Apabila ayam mu bisa membantumu dalam peperangan bisa kau tunggani ,meninju (melompat) dan menggali..maka tidak mengapa, jika tidak maka jangan…..” (Liqo Bab Al-Maftuh pertanyaan ketiga,kaset No.200) 9. Seseorang bertanya kepada Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah : “Apa hukum menggantungkan doa-doa di mobil seperti doa menaiki kendaraan atau safar dan lain sebagainya.Apa jawaban bagi yang berkata bahwa hal tersebut termasuk tamimah?” Beliau menjawab: “Termasuk tamimah (jimat)? Saya katakan terhadap orang yang berkata bahwa hal ini tergolong tamimah: Sungguh telah benar, apabila mobilnya sakit!! Digantungkan doa-doa ini di mobil nya bukan di penumpangnya,dan diletakkan di mobilnya juga baik karena bisa mengingatkan penumpang dengan doa menaiki kendaraan.Atau dengan doa safar.Semua yang bisa membantu kebaikan maka hal itu baik.Saya tidak memandang menggantungknnya tidak boleh.Ini bukan termasuk tamimah kecuali sebagaimana saya katakan tadi :Jika mobilnya sedang sakit,kemudian digantungkannya doa-doa ini kemudian sembuh dengan idzin Allah!! Oleh karenanya perkara ini baik-baik saja! (Liqo As-Syahri ,kaset No.9 Side B) 10. Diceritakan oleh Ihsan bin Muhammad Al-Utaybi; Setelah selesai shalat di masjidil haram al-makki, Syaikh meninggalkan Al-Haram untuk pergi ke suatu tempat dgn mobil, maka beliau menghentikan sebuah taxi dan menaikinya. Dalam perjalanan, sang supir ingin berkenalan dgn penumpangnya, maka dia menanyakan:”(Nama)anda siapa wahai Syaikh?” Syaikh menjawab:”Muhammad bin Utsaimin” Dengan terkejut sang supir bertanya:”Syaikh Ibn Utsaimin?” karena mengira Syaikh berbohong kpdnya, sebab dia tidak menyangka seorang seperti Syaikh Ibn Utsaimin akan menjadi penumpang taxi nya. Maka Syaikh menjawab:”Ya, Asy Syaikh” Sopir taksi memutar kepalanya untuk melihat wajah Asy-Syaikh Al-Utsaimin Syaikh pun bertanya:”Siapakah (nama) kamu wahai saudaraku?” Supir itu menjawab:”Saya Asy Syaikh Abdul`Aziz bin Baz!” Syaikh pun tertawa dan menanyakan:”Engkau Syaikh Abdul`Aziz bin Baz?!!!” Supir taxi itu menjawab:”Ya, seperti anda Syaikh Ibn Utsaimin” Lalu Syaikh berkata:”Tapi kan Syaikh Abdul`Aziz bin Baz buta, dan beliau tidak menyetir mobil” Seketika itu sang supir taxi mulai menyadari bahwa penumpang yg duduk disebelahnya benar-benar Syaikh Ibn Utsaimin. Dan sungguh kacau apa yg dia hadapi sekarang (salah tingkah). (Safahat Musyiqah min Hayaatil Imam Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin – p.79 Ref:Al-Madinah ((Ar-Risalah)), nomor:13788) 11. Diceritakan oleh Abu Khalid AbdulKarim Al-Miqrin; Ketika di studio sedang melakukan rekaman acara “Pertanyaan melalui Telepon”, seorang saudara bernama Sa’d Khamis selalu berkata kpd Syaikh setiap kali selesai sesi rekaman:”Jazakallahu khairan wahai Syaikh, (dan semoga) Allah mengasihi kedua orang tua Anda” (pada kesempatan kali ini) Syaikh berkata:”Aamiin ya Sa’d, dan untukku?” Maka Sa’d barkata (lagi):”Semoga Allah mengasihi kedua orang tuamu” Dan Syaikh menjawab (lagi):”Aamiin, dan untukku?” Kemudian Sa’d Khamis menyadari apa yg dimaksud (oleh perkataan Syaikh), maka dia berkata:”Semoga Allah mengasihi Anda dan semoga Allah mengasihi kedua orang tua Anda dan semoga Allah membalas kebaikan Anda dgn sebaik-baik balasan” Maka Syaikh pun tersenyum lalu tertawa, dan kita semuapun tertawa. (Arba`ah`asyar`aam ma`a Samahatiil-`Allamah Asy-Syaikh Ibn Utsaimin – p.63) Masya Allah..Demikianlah canda para ulama, mereka bukan hanya ‘alim dalam ilmu syari’at, tapi dalam canda-pun penuh dengan hikmah.

Celakalah orang yang Sholat

Ketahuilah bahwa sholat mempunyai makna dan bentuk batin dibalik bentuk lahiriahnya. Sebagaimana bentuk lahiriah sholat memiliki adab-adab dan tata cara yang bila tidak dijaga maka akan membatalkan atau mengurangi kesempurnaannya, begitupun adab batin dan kalbu yang akan memaknai sholatnya. para malaikat Allah akan mengangkat sholat ke langit dalam rupa yang putih bersih jika dilakukan dengan menjaga seluruh adab-adabnya, dan mereka akan mendoakan kebaikan bagi pelakunya, dan akan mengankatnya ke langit dalam rupa hitam jika dilakukan tanpa menjaga adab-adabnya, sehingga merekapun berdoa keburukan untuk pelaku sholat yang demikian. Dari sekian banyak ibadah yang umat Islam laksanakan, maka Sholat-lah yang merupakan bagian dari kewajiban ibadah Islam yang menduduki posisi tertinggi dalam susunan pendidikan Islam. Ibadah yang agung ini sesungguhnya bertujuan untuk menciptakan hubungan yang mesra dan erat antara hamba dengan Tuhannya Yang Maha Besar dan Maha Tinggi dan mengkokohkan sendi-sendi kehambaannya. Sudah seharusnya Sholat akan menciptakan hamba yang suci dari perbuatan dosa seperti diisyaratkan Allah SWT dalam firman-NYA, " Sesungguhnya sholat itu mencegah (kamu) dari melakukan perbuatan keji dan mungkar." (QS. Al-Ankabut: 45) Namun mengapa dalam judul diatas ditulis " Celakalah Orang Yang Sholat ", ini karena banyak sekali fenomena yang terjadi di masyarakat kita, betapa mereka melaksanakan sholat namun juga masih melaksanakan dosa (ingkar terhadap perintah yang lain). Banyak orang yang sholat namun mereka tidak tahu mengapa mereka perlu sholat, apa yang didapatinya dari sholat, sehingga mereka lalai dari tujuan sholat itu sendiri, bahka tidak membekas sama sekali dalam jiwanya. Mereka memulai sholat dengan lalai dan mengakhirinya dengan lalai pula, itulah mengapa kita melakukan sholat bertahun-tahun namum sholat tersebut tidak mencegah (diri) dari perbuatan yang keji dan mungkar. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Ma'un 1-7 sebagai berikut : 1. Tahukah kamu orang yang mendustakan agama 2. Itulah orang yang tidak memberikan hak anak yatim 3. dan tidak menganjurkan memberikan bantuan pada orang miskin 4. Maka celakalah bagi orang yang sholat 5. Yaitu mereka yang lalai dalam sholatnya 6. yaitu orang yang berbuat riya 7. dan enggan memberikan bantuan (pertolongan). Maka betapa ruginya (celaka) jika sholat kita yang dilaksanakan bertahun-tahun tidak bermanfaat, tanpa arti dan maknanya dihadapan Allah SWT. Untuk itulah marilah kita mulai untuk merenungi dan menjalankan ibadah sholat dengan menjaga adab-adabnya sehingga dapat menyemangati ruh (jiwa) untuk berbuat baik dan menjauhi kemungkaran. Untuk masalah adab-adab sholat, telah banyak diterangkan oleh para Ulama-ulama dan juga melalui buku-buku yang tidak mungkin diterangkan seluruhnya disni, carilah ilmu sholat dan raihlah rahasia-rahasia kebahagian didalamnya demi mendekatkan diri untuk dapat menyatu dengan Illahi. " untuk meraih kebahagian dunia harus menggunakan ilmu, dan untuk mencapai kebahagian akhirat juga harus menggunakan ilmu "

Apakah Jin Mengetahui Perkara Ghaib?, Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al- Samahatusy Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin rahimahullah ditanya:”Apakah jin mengetahui perkara-perkara yang ghaib?”

Samahatusy Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin rahimahullah ditanya:”Apakah jin mengetahui perkara-perkara yang ghaib?” Jawab: Jin tidak dapat mengetahui perkara-perkara ghaib dan tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara-perkara ghaib kecuali Allah. Bacalah firman-Nya: فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلَّا دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَن لَّوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ (14) سورة سبأ. “Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan” (QS. Saba’: 14). Dan barangsiapa yang mengaku mengetahui perkara-perkara ghaib maka dia kafir dan orang yang membenarkan orang yang mengaku mengetahui perkara-perkara ghaib maka dia juga kafir, karena Allah Azza wa Jalla berfirman: قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ (65) سورة النمل. “Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” (QS. An-Naml: 65). Tidak ada yang mengetahui hal yang ghaib di langit dan di bumi kecuali Allah saja. Mereka yang mengaku bahwa dirinya mengetahui hal yang ghaib yang akan terjadi pada masa yang akan datang semuanya termasuk perdukunan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: من أتى عرافا فسأله عن شيء فصدقه لم تقبل له صلاة أربعين يوما (مسلم: 2203). “Barangsiapa mendatangi tukang ramal/dukun lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu dan membenarkan apa yang ia katakana, maka sholatnya tidak akan diterima oleh Allah selama 40 hari” (HR. Muslim no. 2203). Jika ia membenarkanya maka dia menjadi kafir karena ia telah membenarkan ada seseorang yang mengetahui perkara ghaib dan ia telah mendustakan firman-Nya: قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ (65) سورة النمل. “Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” (QS. An-Naml: 65). Dinukil dari: Majmu’ Fatawa Arkanil Islam, no. 44

Hadist Palsu, Perbaikilah Wudhu’ Kalian, Karena Kacaunya Bacaan Imam Bagi Imam Disebabkan Oleh Jeleknya Wudhu’ Orang Yang Ada Di Belakang Imam

Seorang imam terkadang salah dalam bacaannya. Jika ia salah, maka muncullah beberapa persangkaan yang buruk. Ada diantara mereka berpendapat bahwa kacaunya bacaan imam disebabkan adanya diantara jama’ah yang tak beres melaksanakan wudhu’ atau mandi junub. Ini didasari oleh hadits palsu yang bukan hujjah,seperti hadits yang berbunyi: إِذَا صَلَّيْتُمْ خَلْفَ أَئِمَّتِكُمْ فَأَحْسِنُوْاطُهُوْرَكُمْ فَإِنَّمَا يَرْتَجُّ عَلَى الْقَارِىءِ قِرَاءَتُهُبِسُوْءِ طُهْرِ الْمُصَلِّي خَلْفَهُ “Jika kalian sholat di belakang imam kalian, perbaikilah wudhu’ kalian, karena kacaunya bacaan imam bagi imam disebabkan oleh jeleknya wudhu’ orang yang ada di belakang imam”. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/63)] Hadits ini palsu, sebab di dalamnya terdapat rowi yang majhul, seperti Abdullah bin Aun bin Mihroz, Abdullah bin Maimun. Rowi lain, Muhammad bin Al-Furrukhon, ia seorang yang tak tsiqoh. Dari sisi lain, sudah dimaklumi bahwa jika Ad-Dailamiy bersendirian dalam meriwayatkan hadits dalam kitabnya Musnad Al-Firdaus, maka hadits itu palsu. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy menyatakan palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2629).

Hadist Palsu, Perbanyaklah Dzikir Sehingga Orang-Orang Berkata, Engkau Gila

Di antara kebiasaan orang-orang sufi, mereka berdzikir dengan cara melampaui batas syariat Islam, yaitu berdzikir dengan bilangan yang memberatkan diri seperti berdzikir sebanyak 70 ribu kali, 100 ribu kali. Di antara kebiasaan orang-orang sufi, mereka berdzikir dengan cara melampaui batas syariat Islam, yaitu berdzikir dengan bilangan yang memberatkan diri seperti berdzikir sebanyak 70 ribu kali, 100 ribu kali. Padahal, maksimal dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sebanyak 100 kali dalam dzikir-dzikir tertentu, bukan pada semua jenis dzikir. Mereka membebani diri seperti ini, karena mendengar hadits berikut: أَكْثِرُوْا مِنْ ذِكْرِاللهِ حَتى يَقُوْلُوْا مَجْنُوْنٌ “Perbanyaklah dzikir sehingga orang-orang berkata, engkau gila”. [HR. Ahmad (3/68), Al-Hakim (1/499), dan Ibnu Asakir (6/29/2)] Hadits ini lemah karena diriwayatkan oleh Darraj Abu Samhi. Dia lemah riwayatnya yang berasal dari Abul Haitsam. Di-dho’if-kan oleh syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (no. 517) (2/9).

Hadist Palsu, Penduduk Surga adalah Belalang

Banyak sekali hadits-hadits palsu yang beredar di masyarakat. Terkadang maknanya lurus, namun terkadang juga menggelitik orang seperti hadits palsu berikut: Banyak sekali hadits-hadits palsu yang beredar di masyarakat. Terkadang maknanya lurus, namun terkadang juga menggelitik orang seperti hadits palsu berikut: أَهْلُ الْجَنَّةِ جَرَدٌ إِلَّا مُوْسَى بْنَ عِمْرَانَ فَإِنَّ لَهُ لِحْيَةً إِلَى سُرَّتِهِ “Penduduk surga adalah belalang, kecuali Musa bin Imron, karena dia memiliki jenggot sampai ke pusarnya“. [HR. Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu’afaa’ (185), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (4/48), dan Ar-Raziy dalam Al-Fawa’id (6/111/1)]. Hadits ini adalah hadits batil yang palsu. Dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang suka memalsukan hadits, yaitu Syaikhnya Ibnu Abi Kholid Al-Bashriy. Maka tak heran apabila syaikh Al-Albaniy mencantumkan hadits ini dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (704).

Nabi Adam Turun Di India, Hadist Palsu

“Nabi Adam turun di India, dan beliau merasa asing. Maka turunlah Jibril seraya mengumandangkan adzan, “Allahu Akbar, Asyhadu Alla Ilaha illallah (dua kali), asyhadu anna Muhammdan rasulullah (dua kali). Adam bertanya, “Siapakah Muhammad itu?” Jibril menjawab, “Cucumu yang paling terakhir dari kalangan nabi”. “. [HR. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (2/323/2) Dalam kisah-kisah para naib dan rasul, disebutkan kisah masyhur bahwa Adam turun di negeri India, berdasarkan hadits yang lemah berikut ini, نَزَلَ آدَمُ بِالْهِنْدِ وَاسْتَوْحَشَ فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ فَنَادَى بِالْأَذَانِ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مَرَّتَيْنِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ مَرَّتَيْنِ قَالَ آدَمُ مَنْ مُحَمَّدٌ قَالَ آخِرُ وَلَدِكَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ “Nabi Adam turun di India, dan beliau merasa asing. Maka turunlah Jibril seraya mengumandangkan adzan, “Allahu Akbar, Asyhadu Alla Ilaha illallah (dua kali), asyhadu anna Muhammdan rasulullah (dua kali). Adam bertanya, “Siapakah Muhammad itu?” Jibril menjawab, “Cucumu yang paling terakhir dari kalangan nabi”. “. [HR. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (2/323/2)] Hadits ini dho’if (lemah), atau palsu, karena ada seorang rawi dalam sanadnya yang bernama Muhammad bin Abdillah bin Sulaiman. Orang yang bernama seperti ini ada dua; yang pertama dipanggil Al-Kufiy, orangnya majhul (tidak dikenal), sedang orang yang seperti ini haditsnya lemah. Yang satunya lagi, dikenal dengan Al-Khurasaniy. Orang ini tertuduh dusta. Jika dia yang terdapat dalam sanad ini, maka hadits ini palsu. Hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (403).

Hadits Lemah, Memadamkan Api Neraka dengan Shalat

إِنَّ لِلّهِ تَعَالَى مَلَكًا يُنَادِيْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ : يَا بَنِيْ آدَمَ قُوْمُوْا إِلَى نِيْرَانِكُمْ الَّتِيْ أَوْقَدْتُمُوْهَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَأَطْفِئُوْهَا بِالصَّلاَةِ “Sesungguhnya Allah -Ta’ala- memiliki seorang malaikat yang memanggil setiap kali sholat, “Wahai anak Adam, bangkitlah menuju api (neraka) kalian yang telah kalian nyalakan bagi diri kalian, maka padamkanlah api itu dengan sholat“. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (9452) dan Ash-Shoghir (1135), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/42-43), dan lainnya] Jika kita mau mengoleksi hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan sholat, maka terlalu banyak. Namun disini kami mau ingatkan bahwa ada hadits lemah dalam hal ini, yaitu hadits yang berbunyi: إِنَّ لِلّهِ تَعَالَى مَلَكًا يُنَادِيْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ : يَا بَنِيْ آدَمَ قُوْمُوْا إِلَى نِيْرَانِكُمْ الَّتِيْ أَوْقَدْتُمُوْهَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَأَطْفِئُوْهَا بِالصَّلاَةِ “Sesungguhnya Allah -Ta’ala- memiliki seorang malaikat yang memanggil setiap kali sholat, “Wahai anak Adam, bangkitlah menuju api (neraka) kalian yang telah kalian nyalakan bagi diri kalian, maka padamkanlah api itu dengan sholat“. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (9452) dan Ash-Shoghir (1135), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/42-43), dan lainnya] Hadits ini lemah , karena ada seorang rawi bernama Yahya bin Zuhair Al-Qurosyiy. Dia adalah seorang majhul (tak dikenal). Olehnya, Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- melemahkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (3057) Sumber: Rubrik Hadits Lemah Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 68 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi.

28 TANYA JAWAB SEPUTAR PUASA BERSAMA AL-IMAM ABDUL AZIZ BIN BAZ RAHIMAHULLAH

Pertanyaan 1 : Puasa ramadhan diwajibkan atas siapa saja? Dan apa keutamaan puasa ramadhan dengan puasa tathowwu`? Pertanyaan 2 : Apakah seorang anak mumayyiz diperintah untuk berpuasa? Apakah puasa itu sah jika ia baligh di tengah-tengah puasanya ini? Pertanyaan 3 : Apa yang lebih utama bagi musafir, berbuka atau terus berpuasa? Terutama pada safar (bepergian) yang tak ada kepenatan, seperti dalam pesawat atau alat-alat transportasi modern lainnya? Pertanyaan 4 : Bagaimana kita bisa menentukan masuk dan keluarnya bulan ramadhan? Dan bagaimana hukum orang yang melihat hilal sendirian mengenai masuk dan keluarnya ramadhan? Pertanyaan 5 : Bagaimana manusia berpuasa jika matla`nya berbeda? Apakah penduduk negeri yang jauh seperti Amerika dan Australia ketika tidak melihat bulan, diharuskan berpuasa saat penduduk Arab Saudi melihat bulan? Pertanyaan 7 : Apa yang diperbuat orang-orang yang waktu siang mereka panjangnya sampai dua puluh satu jam, apakah mereka mengira-ngira puasa mereka? Dan apa yang diperbuat mereka jika waktu siangnya pendek sekali? Demikian pula apa yang harus dilakukan jika waktu siang berlangsung terus menerus sampai enam bulan, dan waktu malam juga berlangsung terus menerus sampai enam bulan? Pertanyaan 8 : Apakah kita wajib menghentikan sahur saat adzan subuh berkumandang, ataukah kita diperbolehkan makan dan minum sampai muadzin selesai dari adzannya? Pertanyaan 9 : Apa pendapat anda tentang orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa seperti: lelaki tua, wanita tua, dan orang sakit yang tidak bisa sembuh, apakah mereka harus bayar fidyah dari ketidakpuasaan ini? Pertanyaan 10 : Apa hukum puasa bagi wanita haid dan nifas? Jika keduanya mengakhirkan qadha` sampai ramadhan berikutnya, apa yang harus diperbuat mereka berdua? Pertanyaan 11 : Apa hukum puasa tatawwu` seperti: puasa enam hari di bulan Syawal, puasa sepuluh hari di bulan dzul Hijjah, dan puasa Asyura`, bagi orang yang mempunyai hutang puasa ramadhan dan belum mengqadha`nya? Pertanyaan 12 : Apa hukum seseorang yang mengidap penyakit, kemudian masuk bulan ramadhan dan ia tidak berpuasa, lalu ia meninggal setelah bulan ramadhan, apakah walinya harus mengqadha` puasanya, atau hanya memberi makan saja? Pertanyaan 13 : Bagaimana hukum menggunakan suntikan pada urat leher dan otot, serta apa perbedaan diantara keduanya bagi orang yang berpuasa? Pertanyaan 14 : Bagaimana hukum menggunakan pasta gigi, dan obat tetes pada telinga, hidung, juga mata bagi orang berpuasa? Jika orang yang berpuasa merasakan obat tersebut di tenggorokannya, apa yang harus dikerjakannya? Pertanyaan 15 : Jika seseorang sakit gigi, kemudian ia pergi ke dokter, lalu dokter itu membersihkan gigi, menutup lobang, atau mencopot giginya, apakah hal semacam ini berpengaruh pada puasanya? Seandainya sang dokter memberi obat bius untuk menekan rasa sakit pada gusi, apakah ada pengaruhnya terhadap puasa? Pertanyaan 16 : Bagaimana jika seseorang makan dan minum karena lupa di siang hari saat berpuasa? Pertanyaan 17 : Bagaimana hukum seseorang yang tidak mau mengqadha` puasa sampai masuk ramadhan berikutnya, padahal ia tak ada udzur sama sekali. Apakah ia cukup bertaubat dengan mengqadha` atau harus membayar kaffarat? Pertanyaan 18 : Apa hukum puasa bagi seseorang yang meninggalkan shalat, apakah puasanya sah? Pertanyaan 19 : Bagaimana hukum orang yang berbuka di bulan ramadhan, tapi tidak mengingkari kewajiban puasa? Apakah meninggalkan puasa karena malas ini, jika dilakukan lebih dari sekali akan mengeluarkan seseorang dari Islam? Pertanyaan 20 : Bagaimana jika wanita haid menjadi suci di siang hari bulan ramadhan? Pertanyaan 21 : Bagaimana jika ada darah yang keluar dari orang berpuasa, seperti darah mimisan misalnya? Dan apakah diperbolehkan bagi orang berpuasa untuk menyumbangkan darah, atau mengambil sedikit darahnya untuk dipelajari di Lab? Pertanyaan 22 : Bagaimana jika orang yang berpuasa itu makan, minum, atau bersetubuh, karena mengira matahari telah terbenam atau menduga bahwa fajar belum terbit? Pertanyaan 23 : Bagaimana hukum seseorang yang menyetubuhi isterinya di siang hari ramadhan sementara ia berpuasa? Dan bolehkah bagi seorang musafir untuk bersetubuh, jika ia tidak berpuasa? Pertanyaan 24 : Bagaimana hukum menggunakan penyemprot mulut di siang hari saat berpuasa, jika seseorang menggunakannya karena sakit asma atau penyakit lainnya? Pertanyaan 25 : Apa hukum memberikan suntikan di anus bagi orang berpuasa jika ia diharuskan melakukannya? Pertanyaan 26 : Bagaimana jika orang yang berpuasa muntah, apakah ia mengqadha` hari itu atau tidak? Pertanyaan 27 : Apa hukum cuci darah bagi penderita penyakit ginjal saat berpuasa, apakah ia harus mengqadha` atau tidak? Pertanyaan 28 : Apa hukum I`tikaf bagi lelaki dan perempuan? Apakah ketika I`tikaf itu disyaratkan harus berpuasa? Apa saja yang dikerjakan orang yang beri`tikaf , dan kapan ia harus masuk mu`takaf (tempat I`tikaf )nya dan keluar darinya? Pertanyaan 1 : Puasa ramadhan diwajibkan atas siapa saja? Dan apa keutamaan puasa ramadhan dengan puasa tathowwu`? Jawab: Puasa ramadhan diwajibkan atas setiap Muslim yang mukallaf, baik laki-laki maupun perempuan. Puasa ini dianjurkan kepada anak-anak yang sudah berumur tujuh tahun atau lebih, juga dianjurkan kepada setiap anak laki-laki atau perempuan yang mampu mengerjakannya. Sedangkan para orang tua, mereka diwajibkan menyuruh putera-puteri mereka untuk mengerjakan puasa jika mereka mampu, sebagaimana mereka diperintahkan menyuruh putera-puteri mereka untuk mengerjakan shalat. Dasar hal ini adalah firman Allah yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 183-184) Hingga firman-Nya yang berbunyi, “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185) Juga berdasar kepada sabda nabi yang berbunyi, ((بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهاَدَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقاَمِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتاَءِ الزَّكاَةِ، وَصَوْمِ رَمَضاَنَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ)) (متفق على صحته من حديث ابن عمر) “Islam dibangun di atas lima perkara: Bersaksi bahwa tiada tuhan yang patut diibadahi selain hanya Allah dan Muhammad adalah rasul Allah, mendirikan shalat, mengerjakan zakat, berpuasa di bulan ramadhan dan mengerjakan ibadah haji di baitul haram.” (Muttafaq `alaih dari Abdullah bin Umar) Juga sabda beliau saat ditanya Jibril mengenai Islam, beliau menjawab, ((اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ ِإلاَََّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ، وَتَصُوْمُ رَمَضاَنَ، وَتَحُجُّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً)) (خرجه مسلم في صحيحه من حديث عمر بن الخطاب رضي الله عنه، وأخرج معناه الشيخان من حديث أبي هريرة رضي الله عنه) “Islam adalah: engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut diibadahi selain hanya Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Lalu kamu mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa ramadhan dan mengerjakan ibadah Haji ke baitul haram jika kamu mampu untuk itu.” (Diriwayatkan Imam Muslim dari Umar bin Khattab radhiyallahu anhu, juga diriwayatkan dengan makna yang sama oleh Asy-Syaikhan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu) Sedangkan dalam As-Sahihain dari Abu Hurairah, dari nabi beliau bersabda, ((مَنْ صَامَ رَمَضاَنَ إِيْماَناً وَاحْتِساَباً غُفِرَ لَـهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ)) “Barangsiapa berpuasa ramadhan karena iman dan mencari pahala, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” Beliau juga bersabda, ((يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَـهُ، اَلْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثاَلِهاَ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، إِلاَّ الصِّياَمَ فَإِنَّهُ لِيْ، وَأَناَ أَجْزِيْ بِهِ، تَرَكَ شَهْوَتَهُ وَطَعاَمَهُ وَشَرَابَهُ مِنْ أَجْلِيْ، لِلصَّائِمِ فَرْحَتاَنِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقاَءِ رَبِّهِ، وَلَخَلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ)) (متفق على صحته) “Allah azza wajalla berfirman, setiap perbuatan bani Adam adalah untuk dirinya sendiri. Satu kebaikan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali hingga mencapai tujuh ratus lipat. Kecuali puasa, ia adalah untuk-Ku dan Saya pasti membalasnya. Ia meninggalkan syahwat, makanan, dan minuman hanya karena Saya. Sungguh! Bagi orang yang berpuasa, ada dua kebahagiaan. Rasa bahagia saat ia berbuka dan rasa bahagia saat ia berjumpa dengan Rabbnya. Dan bau busuk mulut orang berpuasa, lebih harum di sisi Allah dari bau harum minyak kesturi.” (Muttafaq `alaih) Sedangkan hadits-hadits mengenai keutamaan puasa ramadhan dan keutamaan puasa pada selain bulan itu masih sangat banyak lagi. Semoga Allah memberi taufiq kepada kita semua. Pertanyaan 2 : Apakah seorang anak mumayyiz diperintah untuk berpuasa? Apakah puasa itu sah jika ia baligh di tengah-tengah puasanya ini? Jawab: Telah disebutkan pada jawaban dari pertanyaan pertama bahwa anak kecil baik laki-laki maupun perempuan, jika sudah berumur tujuh tahun atau lebih, mereka diperintahkan untuk berpuasa agar terbiasa dengan hal itu. Sedangkan para wali, mereka diharuskan menyuruh anak-anak untuk melakukan puasa ini, seperti menyuruh mereka mengerjakan shalat. Jika mereka sudah bermimpi basah (baligh) mereka wajib berpuasa. Jika balighnya di tengah hari, maka puasa itu sah dan dibenarkan darinya pada hari itu. Kalau seandainya ada anak yang genap umurnya menjadi lima belas tahun di saat tergelincir matahari (di waktu dhuhur), dan dia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya di hari itu adalah benar dan sah. Sedangkan puasa yang dilakukannya di permulaan hari termasuk puasa nafilah, dan yang dilakukannya di akhir hari tergolong puasa fardhu, jika sebelum itu ia memang belum baligh. Apakah itu dengan tumbuhnya rambut kaku di kemaluan, atau keluarnya mani dengan adanya syahwat. Dan seperti inilah yang dihukumi pada wanita, hanya saja pada wanita ada tanda keempat sebagai tanda balighnya, yaitu haidh. Pertanyaan 3 : Apa yang lebih utama bagi musafir, berbuka atau terus berpuasa? Terutama pada safar (bepergian) yang tak ada kepenatan, seperti dalam pesawat atau alat-alat transportasi modern lainnya? Jawab: Yang afdhal bagi orang berpuasa adalah berbuka saat bepergian, bagaimana pun keadaannya. Tetapi orang yang tetap berpuasa maka tidak ada dosa baginya, karena rasulullah pernah melakukan ini dan itu, demikian pula para sahabatnya. Tetapi, jika panas sangat menyengat, dan kecapaian semakin meningkat, maka berbuka di saat ini sangat diharuskan. Adapun alasan kenapa berpuasa bagi seorang musafir sangat dimakruhkan (dibenci), yaitu karena rasulullah pernah melihat seorang lelaki dalam safar yang sangat kecapaian dan tetap berpuasa, beliau berkata kepadanya, ((لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ)) “Bukan termasuk kebaikan, jika tetap berpuasa saat bepergian.” Juga karena sabda beliau yang berbunyi, ((إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ، كَماَ يُكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ)) “Sesungguhnya Allah senang jika rukhsahnya dikerjakan, sebagaimana Dia Membenci jika kemaksiatan dikerjakan.” Dalam lafadh lain, ((كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ)) “Sebagaimana Dia senang jika azimah-azimahnya dikerjakan.” Dan dalam hal ini tidak ada perbedaan diantara para musafir, apakah itu yang bepergian dengan mobil, unta, perahu, kapal, atau orang yang bepergian dengan pesawat. Karena semua orang diatas, tetap dinamakan sebagai musafir, sehingga berhak mendapatkan keringanan yang diberikan Allah kepada mereka. Allah Subhaanahu wa Ta`ala telah mensyariatkan hukum safar (bepergian) dan iqamah (menetap) bagi para hamba-Nya di zaman nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam, dan hukum ini terus berlaku bagi hamba lainnya setelah masa itu hingga hari kiamat. Dia (Allah) Maha tahu apa yang bakal terjadi dari berbagai perubahan dan menjadi bermacam-macamnya jenis alat tranportasi. Seandainya hukum akan berbeda, tentunya Allah menjelaskan hal itu dalam kitab-Nya, sebagaimana Ia Menjelaskan dalam surat An-Nahl yang berbunyi, “Kami telah menurunkan al-Qur`an kepadamu sebagai penjelas atas berbagai hal, juga petunjuk, rahmat dan pemberi kabar gembira bagi kaum muslimin.” (QS. An-Nahl: 89) Juga berfirman dalam surat yang sama, “Dan Dia Menciptakan kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan menjadikannya perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS. An-Nahl: 8) Pertanyaan 4 : Bagaimana kita bisa menentukan masuk dan keluarnya bulan ramadhan? Dan bagaimana hukum orang yang melihat hilal sendirian mengenai masuk dan keluarnya ramadhan? Jawab: Masuk dan keluarnya bulan ramadhan ditetapkan dengan dua saksi atau lebih. Dan bisa ditetapkan masuknya hanya dengan satu saksi saja. Karena ada sebuah hadits sahih dari nabi yang berbunyi, ((فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُوْمُوْا وَأَفْطِرُوْا)) “Jika ada dua orang yang menyaksikan (hilal) maka berpuasa dan berbukalah.” Juga ada sebuah hadits sahih bahwa rasulullah menyuruh para manusia berpuasa hanya dengan pengakuan Abdullah bin Umar, juga dengan pengakuan seorang arab pedalaman, beliau tidak meminta orang lain yang memberikan pengakuan. Hikmah dalam hal ini –Allahu a`lam- ihtiyath (berhati-hati) dalam agama dalam masuk dan keluarnya bulan, sebagaimana yang ditegaskan para ulama`. Dan barangsiapa yang melihat hilal sendirian mengenai keluar dan masuknya bulan, tetapi kesaksiannya ini tidak diterapkan, maka ia tetap berpuasa bersama manusia dan berbuka bersama mereka. Ia tidak boleh menerapkan kesaksiannya itu menurut pendapat para ulama yang paling sahih. Karena nabi bersabda, ((اَلصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَاْلفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ)) “Puasa adalah hari saat kalian berpuasa, idul fitri adalah hari saat kalian berbuka, dan idul adha adalah hari saat kalian berkurban.” Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua. Pertanyaan 5 : Bagaimana manusia berpuasa jika matla`nya berbeda? Apakah penduduk negeri yang jauh seperti Amerika dan Australia ketika tidak melihat bulan, diharuskan berpuasa saat penduduk Arab Saudi melihat bulan? Jawab: Yang benar adalah berpegang kepada ru`yah (melihat hilal) bukan kepada perbedaan mathla`, karena nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan untuk berpegang kepada ru`yah dan beliau tidak memperinci hal itu lagi. Yaitu dalam sabda beliau yang berbunyi, ((صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا اْلعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ)) (متفق على صحته) “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal, jika hilal itu tidak terlihat kalian, maka sempurnakan jumlah bulan itu menjadi tiga puluh.” (Muttafaq `alaih) Juga sabda beliau yang lain, ((لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ، وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتىَّ تَرَوُا الْهِلاَلَ أَوْ تُكْمِلوُا الْعِدَّةَ)) “Jangan berpuasa sampai melihat hilal atau menyempurnakan jumlah tanggal, dan jangan berbuka sampai melihat bulan atau menyempurnakan jumlah tanggal.” Hadits-hadits seperti ini masih banyak lagi jumlahnya. Pada kedua hadits diatas rasulullah tidak menunjuk kepada perbedaan mathla`, padahal beliau mengerti hal itu. Dan ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa setiap Negara tergantung kepada ru`yah di Negara masing-masing, jika mathla`nya berbeda. Mereka berdalil dengan perbuatan Abdullah bin Abbas saat di Madinah yang tidak mempedulikan ru`yah penduduk Syam. Saat itu orang-orang Syam telah melihat bulan di malam Jum`at, dan berpuasa berdasar dengan ru`yah itu di zaman Mu`awiyah. Adapun penduduk Madinah, mereka tidak melihat bulan kecuali di malam sabtu. Abdullah bin Abbas, saat diberitahu Kuraib bahwa penduduk Syam telah melihat bulan dan berpuasa, ia berkata, ((نَحْنُ رَأَيْناَهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتىَّ نَرَاهُ أَوْ نُكْمِلُ الْعِدَّةَ)) “Kami telah melihatnya di malam sabtu, tapi kami tetap berpuasa sampai melihat bulan atau menyempurnakan jumlah.” Juga berdalil dengan sabda nabi yang berbunyi, ((صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ)) (متفق على صحته) “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal.” (Muttafaq `alaih) Pendapat di atas memiliki kekuatan. Pendapat ini juga dipilih oleh para anggota majlis Hai`ah kibar ulama` (Dewan Ulama` besar bagian fatwa) di kerajaan Saudi Arabia, sesuai dengan penggabungan dalil-dalil yang ada. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua.    Pertanyaan 7 : Apa yang diperbuat orang-orang yang waktu siang mereka panjangnya sampai dua puluh satu jam, apakah mereka mengira-ngira puasa mereka? Dan apa yang diperbuat mereka jika waktu siangnya pendek sekali? Demikian pula apa yang harus dilakukan jika waktu siang berlangsung terus menerus sampai enam bulan, dan waktu malam juga berlangsung terus menerus sampai enam bulan? Jawab: Siapa pun yang memiliki malam dan siang dalam lingkup dua puluh empat jam, mereka tetap berpuasa di siang itu, baik siangnya pendek atau panjang, dan puasa mereka tetap sah, meski siang mereka sangat pendek. Tetapi barangsiapa yang waktu siang dan malamnya lebih panjang dari di atas, seperti enam bulan misalnya, maka mereka harus mengira-ngira untuk berpuasa dan mengerjakan shalat. Seperti yang diperintahkan nabi pada hari Dajjal yang seperti satu tahun, demikian pula pada hari yang seperti satu bulan dan satu minggu, maka shalat juga dikira-kira pada hari-hari tersebut. Dalam masalah ini majlis para ulama di Saudi Arabia telah mengeluarkan sebuah keputusan, yaitu no: 61 tanggal 12-4-1398 H yang berbunyi, Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada rasulullah, keluarga dan para sahabat, wa ba`du: Pada daurah (seminar) yang kedua belas di kota Riyadh, tepatnya pada hari-hari awal di bulan Rabiul Akhir tahun 1398 H, Majlis Hai`ah Kibar Ulama` (Dewan Himpunanr para ulama` senior) disuguhi surat dari Ketua Umum Rabitah alam islami di Makkah Al-Mukarramah no: 555 tanggal: 16-1-1398 H, yang isinya berkenaan dengan surat dari ketua organisasi islam di Kota Malu, Swedia. Ia memberitahukan bahwa negara Skandinavia, pada musim panas, waktu siangnya menjadi sangat panjang, sedangkan musim dingin, waktu siangnya menjadi sangat pendek, karena letak geografis daerah tersebut. Demikian pula pada bagian utara daerah itu, matahari tak pernah tenggelam di musim panas. Kebalikannya, saat musim dingin matahari selalu terbenam. Kaum muslimin di daerah tersebut bertanya bagaimana cara berbuka dan kapan dimulai berpuasa di bulan ramadhan. Dan bagaimana cara menentukan waktu-waktu shalat di negara tersebut. Ketua organisasi itu mengharap kepada ketua Umum rabitah untuk memberikan fatwa dalam hal ini. Setelah mempelajari dan menelitih dengan seksama, majlis pun memberi keputusan sebagai berikut: Pertama: Barangsiapa tinggal di negara yang malamnya bisa dibedakan dari siang dengan terbitnya fajar dan tenggelamnya matahari, hanya saja waktu siangnya sangat panjang saat musim panas dan sangat pendek saat musim dingin, maka wajib baginya mengerjakan shalat lima waktu tepat pada waktunya yang telah ditentukan. Karena keumuman firman Allah yang berbunyi, “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikan pula shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat.” (QS. Al-Isra`: 78) Juga firman-Nya, “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS: An-Nisa`: 103) Juga karena ada sebuah hadits sahih dari Buraidah, dari Nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam, ((أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ عَنْ وَقْتِ الصَّلَاةِ، فَقَالَ لَهُ: صَلِّ مَعَنَا هَذَيْنِ يَعْنِي الْيَوْمَيْنِ، فَلَمَّا زَالَتِ الشَّمْسُ أَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ، ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الظُّهْرَ، ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ، ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْمَغْرِبَ حِينَ غَابَتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ، ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْفَجْرَ حِينَ طَلَعَ الْفَجْرُ، فَلَمَّا أَنْ كَانَ الْيَوْمُ الثَّانِي أَمَرَهُ فَأَبْرَدَ بِالظُّهْرِ، فَأَنْعَمَ أَنْ يُبْرِدَ بِهَا، وَصَلَّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ أَخَّرَهَا فَوْقَ الَّذِي كَانَ، وَصَلَّى الْمَغْرِبَ قَبْلَ أَنْ يَغِيبَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى الْعِشَاءَ بَعْدَمَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، وَصَلَّى الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ قَالَ: أَيْنَ السَّائِلُ عَنْ وَقْتِ الصَّلَاةِ؟ فَقَالَ الرَّجُلُ: أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: وَقْتُ صَلَاتِكُمْ بَيْنَ مَا رَأَيْتُمْ)) (رواه البخاري ومسلم) “Bahwa seorang lelaki bertanya kepada beliau tentang waktu shalat, maka beliau menjawab, “Kerjakan shalat bersama kami dalam dua hari ini.” Maka, ketika matahari tergelincir, beliau menyuruh Bilal mengumandangkan adzan, kemudian memerintahnya untuk mendirikan shalat dhuhur. Lalu rasulullah menyuruhnya kembali untuk mendirikan shalat ashar, yang saat itu matahari sangat tinggi, putih dan masih terang. Tak lama kemudian, Rasulullah menyuruhnya untuk mendirikan shalat Maghrib ketika terbenam matahari. Kemudian beliau menyuruhnya mendirikan shalat isya` ketika awan-awan merah di langit menghilang. Lalu menyuruhnya mendirikan shalat subuh saat datang fajar. Ketika datang hari kedua, beliau menyuruh Bilal mengerjakan shalat dhuhur saat hari dingin. Lalu shalat ashar saat matahari tinggi, beliau mengakhirkan shalat ashar ini dari yang kemarin. Kemudian mengerjakan shalat maghrib sebelum awan merah di langit menghilang. Lalu mengerjakan shalat isya` setelah hilang sepertiga malam, dan mengerjakan shalat subuh, saat hari benar-benar telah terang. Lalu beliau bertanya, “Mana orang yang bertanya tentang waktu shalat?” lelaki itu menjawab, “Saya wahai rasulullah.” Kemudian beliau bersabda, “Waktu shalat kalian adalah diantara (dua waktu) yang telah kalian lihat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam hadits lain, عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ، وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ، وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ، وَوَقْتُ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ، فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ، فَأَمْسِكْ عَنِ الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ)) (أخرجه مسلم في صحيحه) “Dari Abdullah bin Amru bin Ash, sesungguhnya nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam bersabda, “Waktu dhuhur dimulai saat matahari tergelincir, yang saat itu bayang-bayang seseorang seperti panjang tubuhnya selama waktu ashar belum datang. Waktu ashar ketika matahari belum menguning. Waktu shalat maghrib sebelum awan-awan merah menghilang. Waktu shalat isya` sampai pertengahan malam. Dan waktu shalat subuh dimulai sejak terbitnya fajar selama matahari belum terbit. Jika matahari telah terbit, maka jangan mengerjakan shalat, karena ia terbit di antara dua tanduk syetan”.” (HR. Muslim) Juga hadits-hadits lain yang menyebutkan ketentuan waktu shalat, baik dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Hadits-hadits yang ada itu, tidak membedakan antara panjang dan pendeknya siang. Juga tidak membedakan panjang dan pendeknya malam, selama waktu-waktu shalat bisa dibedakan dengan tanda-tanda yang diterangkan rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam. Ini jawaban yang berkenaan dengan penentuan waktu shalat mereka. Adapun yang berkenaan dengan penentuan waktu puasa di bulan ramadhan, maka setiap mukallaf dari mereka, harus berhenti makan, minum, dan meninggalkan segala hal yang membatalkan puasa dalam setiap harinya, dimulai dari terbit fajar sampai matahari terbenam di negara mereka, selama waktu siang bisa dibedakan dari waktu malam, dan keseluruhan waktunya adalah dua puluh empat jam. Dan dihalalkan bagi mereka makan, minum, bersetubuh dan yang lainnya, pada malam hari saja, meski waktunya sangat pendek. Karena syariat Islam umum bagi semua manusia di seluruh negara. Allah berfirman, “Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu waktu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187) Barangsiapa tidak mampu menyempurnakan puasa sehari penuh karena waktunya yang sangat panjang, atau mengetahui dengan tanda, penelitihan, atau kabar dari seorang dokter ahli yang bisa dipercaya, atau berkeyakinan penuh bahwa berpuasa akan membinasakannya, atau bakal menderita penyakit sangat parah, atau menyebabkan lambatnya kesembuhan dirinya, atau penyakitnya bertambah parah, maka dia harus berbuka, dan mengqadha` hari-hari yang ia berbuka di hari-hari itu pada bulan lainnya yang ia mampu melakukannya. Allah berfirman, “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185) Allah juga berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) Juga firman-Nya, “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78) Kedua: Barangsiapa tinggal di negara yang matahari sama sekali tidak terbenam selama musim panas, dan tidak muncul sama sekali di musim dingin, atau berada di negara yang siangnya terus menerus selama enam bulan, atau malamnya terus menerus selama enam bulan pula, maka wajib atas mereka untuk mengerjakan shalat lima waktu dalam setiap dua puluh empat jam. Yaitu dengan mengkira-kirakan waktu dan menentukannya sesuai negara terdekat, yang disitu waktu shalat bisa dibedakan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini sesuai hadits Isra` mi`raj, bahwasanya Allah Subhaanahu wa Ta`ala mewajibkan atas umat ini lima puluh kali shalat dalam sehari semalam, tetapi nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa Sallam senantiasa memohon keringanan kepada-Nya, sampai Dia Berfirman, ((ياَ مُحَمَّدُ، إِنَّهُنَّ خَمْسُ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، لِكُلِّ صَلاَةٍ عَشْرٌ فَذَلِكَ خَمْسُوْنَ صَلاَةً)) “Wahai Muhammad! Sesungguhnya kewajiban itu adalah lima kali shalat dalam sehari semalam. Bagi setiap shalat ada sepuluh pahala, maka semuanya menjadi lima puluh kali shalat.” Juga sesuai dengan hadits Talhah bin Ubaidillah ia berkata, ((جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَهْلِ نَجْـدٍ ثَائِرَ الرَّأْسِ، نَسْمَعُ دَوِيَّ صَوْتِهِ وَلاَ نَفْقَهُ مَا يَقُوْلُ، حَتَّى دَناَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِذاَ هُوَ يَسْأَلُ عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي اْليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ، فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُنَّ؟ قاَلَ: لاَ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَعَ…)) “Datang seorang lelaki dari penduduk Najed kepada rasulullah dengan kepala yang awut-awutan. Kami mendengar sedikit suaranya tapi tak bisa memahami apa yang dikatakannya. Sampai ia mendekat kepada rasulullah. Rupanya ia bertanya tentang islam. Maka rasulullah menjawab, “Lima kali shalat dalam sehari semalam.” Lelaki itu bertanya, apakah ada kewajiban lain bagiku selain shalat lima kali itu? Beliau menjawab, “tidak, kecuali jika kamu mengerjakannya secara tathowwu`”.” Juga sesuai dengan hadits Anas bin Malik, ia berkata, ((نُهِيْناَ أَنْ نَسْأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ، فَكاَنَ يُعْجِبُناَ أَنْ يَجِيْءَ الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْباَدِيَةِ الْعَاقِلُ فَيَسْأَلُهُ وَنَحْنُ نَسْمَعُ فَجاَءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْباَدِيَةِ فَقاَلَ: ياَ مُحَمَّدُ! أَتاَناَ رَسُوْلُكَ، فَزَعَمَ أَنَّكَ تَزْعُمُ أَنَّ اللهَ أَرْسَلَكَ. قَالَ: صَدَقَ، إِلَى أَنْ قاَلَ: وَزَعَمَ رَسُوْلُكَ أَنَّ عَلَيْنَا خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِيْ يَوْمِناَ وَلَيْلَتِناَ. قاَلَ: صَدَقَ، قَالَ: فَبِالَّذِيْ أَرْسَلَكَ، آللهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ…)) “Kami dilarang bertanya kepada rasulullah karena suatu hal. Sehinggga kami sangat berharap jika ada seorang lelaki dari penduduk kampung (baduwi) yang cerdas dan bertanya kepada beliau. Sehingga kami bisa mendengar apa yang ditanyakannya. Maka datanglah seorang lelaki dari penduduk kampung, ia bertanya, “Wahai Muhammad! Telah datang kepada kami utusan kamu, ia mengatakan bahwa Allah-lah yang mengutusmu.” Nabi menjawab, “Benar!” sampai ia berkata, “Utusanmu mengatakan bahwa kami wajib mengerjakan lima kali shalat dalam sehari semalam.” Nabi menjawab, “Benar!” kemudian lelaki itu berkata, “Demi Dzat Yang mengutusmu! Apakah Allah yang menyuruhmu dengan semua ini?” beliau menjawab, “benar”.” Juga disebutkan dalam sebuah hadits, ((أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَ أَصْحَابَهُ عَنِ الدَّجاَّلِ، فَقاَلُوْا: مَا لُبْثُهُ فِي اْلأَرْضِ؟ قَالَ: أَرْبَعُوْنَ يَوْماٍ، يَوْمٌ كَسَنَةٍ، وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ، وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ، وَسَائِرُ أَياَّمِهِ كَأَيَّامِكُمْ، فَقِيْلَ: ياَ رَسُوْلَ اللهِ! اَلْيَوْمُ الَّذِيْ كَسَنَةٍ، أَيَكْفِيْناَ فِيْهِ صَلاَةُ يَوْمٍ؟ قَالَ: لاَ، أَقْدِرُوْا لَهُ قَدْرَهُ)) “Bahwa nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam bercerita kepada para sahabat tentang dajjal. Lalu mereka bertanya, “Berapa lama ia tinggal di bumi?” Nabi menjawab, “Empat puluh hari, satu hari seperti setahun, hari kedua seperti satu bulan, hari ketiga seperti satu jum`at (satu minggu), kemudian hari-hari berikutnya seperti hari-hari yang ada pada kalian.” Lalu seseorang bertanya, “Wahai rasulullah! Mengenai hari yang seperti setahun, apakah kita cukup mengerjakan shalat sehari saja?” Beliau menjawab, “Tidak! Tapi perkirakan hari itu.” Pada hadits ini, rasulullah tidak menganggap satu hari yang seperti setahun sebagai satu hari, yang cukup mengerjakan shalat lima kali saja pada hari itu. Tapi beliau mewajibkan pada hari yang seperti setahun itu, shalat lima waktu setiap dua puluh empat jam. Beliau memerintah para sahabat untuk meletakkan shalat-shalat itu pada masing-masing waktunya, sesuai dengan jarak antara waktu shalat yang satu dengan waktu shalat lainnya pada hari-hari biasa di negeri mereka. Jadi! Wajib bagi kaum muslimin yang menetap dalam negeri yang ditanyakan dalam pertanyaan ini, untuk menentukan waktu-waktu shalat sesuai dengan negara terdekat, yang disitu bisa dibedakan antara malam dengan siang, juga bisa diketahui dengan jelas semua waktu shalat yang lima dengan tanda-tanda syar`inya pada setiap dua puluh empat jam. Mereka juga wajib berpuasa ramadhan dan mengkira-kirakan puasa mereka, yaitu dengan menentukan permulaan bulan ramadhan dan akhirannya. Memulai imsak, juga waktu berbuka pada setiap hari di negeri tersebut sesuai permulaan bulan dan akhirannya. Sesuai dengan terbitnya fajar dan terbenamnya matahari dalam setiap harinya menurut negara terdekat, yang disitu malam dan siang bisa dibedakan. Sehingga semua waktu itu berjumlah dua puluh empat jam, sebagaimana dijelaskan nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam dalam hadits Dajjal, juga sesuai petunjuk beliau kepada para sahabat, mengenai cara menentukan waktu shalat dalam hari-hari Dajjal itu, karena tidak ada perbedaan antara puasa dan shalat. Semoga Allah memberi taufiq kepada kita semua, dan shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa Sallam dan para sahabat… (Dewan pembesar para ulama`)    Pertanyaan 8 : Apakah kita wajib menghentikan sahur saat adzan subuh berkumandang, ataukah kita diperbolehkan makan dan minum sampai muadzin selesai dari adzannya? Jawab: Jika sang muadzin diketahui, bahwa ia tidak mengumandangkan adzan kecuali karena datangnya waktu subuh, maka di saat itu kita wajib menghentikan makan minum dan segala pembatal puasa, sejak ia mulai beradzan. Tetapi jika adzan itu berdasar pada dugaan dan terkaan, maka tidak mengapa jika terus makan dan minum saat adzan berlangsung. Ini berdasarkan hadits nabi yang berbunyi, ((إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلوُا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يُناَدِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ)) قَالَ الرَّاوِيْ فِي آخِرِ هَذَا الْحَدِيْثِ: ((وَكاَنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ رَجُلاً أَعْمَى، لاَ يُناَدِيْ حَتَّى يُقاَلَ لَهُ: أَصْبَحْتَ، أَصْبَحْتَ)) (متفق عليه) “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di waktu malam. Maka, makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum beradzan.” Sang perawi berkata di akhir hadits ini, “Dan adalah Abdullah bin Ummi Maktum seorang lelaki yang buta, ia tidak beradzan sampai dikatakan padanya, “Telah datang waktu subuh, telah datang waktu subuh”.” (Muttafaq alaih) Tapi yang lebih selamat bagi seorang mukmin dan mukminah, adalah menyelesaikan sahur sebelum datang fajar, karena rasulullah bersabda, ((دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلىَ مَا لاَ يَرِيْـبُكَ)) “Tinggalkan hal-hal yang meragukan dan ambillah yang tidak meragukan.” Juga sabdanya, ((مَنِ اتَّقَى الشُّبـُهاَتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ)) “Barangsiapa menjauhi barang-barang syubhat, maka ia telah terbebas dari tuduhan dalam agama dan kehormatannya.” Adapun, jika kita tahu bahwa sang muadzin beradzan di waktu malam untuk memperingatkan manusia dengan dekatnya waktu subuh, seperti yang dikerjakan Bilal, maka tidak masalah jika kita memakan atau meminum sampai para muadzin mengumandangkan adzan subuh.    Pertanyaan 8 : Bolehkah seorang wanita hamil dan menyusui tidak berpuasa? Apakah mereka wajib mengqadha`, atau ada kaffarat (penebus) saat mereka tidak berpuasa itu? Jawab: Wanita hamil dan menyusui hukumnya seperti orang sakit, jika puasa menyebabkan mereka menderita, maka disyariatkan berbuka bagi mereka. Dan mereka wajib mengqadha` jika mampu melakukannya, persis seperti orang sakit. Tetapi ada sebagian ulama` yang berpendapat, bahwa cukup bagi mereka berdua (wanita hamil dan menyusui) untuk memberi makan orang miskin pada setiap hari yang mereka tidak berpuasa pada hari tersebut. Ini adalah pendapat yang lemah dan tidak rajih. Yang benar, mereka harus mengqadha` seperti halnya seorang musafir dan orang sakit. Allah Berfirman, “Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184) Juga menunjukkan hal di atas, hadits Anas bin Malik Al-Ka`biy, bahwa rasulullah bersabda, ((إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ، وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ)) (رواه الخمسة) “Sesungguhnya Allah telah meringankan puasa dan separuh shalat bagi seorang musafir, dan meringankan puasa bagi wanita hamil dan ibu menyusui.” (HR. Al-Khamsah.)    Pertanyaan 9 : Apa pendapat anda tentang orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa seperti: lelaki tua, wanita tua, dan orang sakit yang tidak bisa sembuh, apakah mereka harus bayar fidyah dari ketidakpuasaan ini? Jawab: Bagi orang yang tidak mampu berpuasa, apakah karena tua, atau sakit yang tidak bisa disembuhkan, maka ia harus memberi makan orang miskin pada setiap hari yang ia tidak berpuasa padanya. Tentunya jika dia mampu untuk memberi makan orang-orang miskin itu. Hal ini seperti yang difatwakan beberapa orang sahabat, diantaranya Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma.    Pertanyaan 10 : Apa hukum puasa bagi wanita haid dan nifas? Jika keduanya mengakhirkan qadha` sampai ramadhan berikutnya, apa yang harus diperbuat mereka berdua? Jawab: Wanita haidh dan nifas, harus berbuka saat haid dan nifas mendatangi mereka, mereka tidak boleh berpuasa atau mengerjakan shalat saat kedatangan haid dan nifas ini. Jika mereka tetap melakukannya, maka shalat dan puasa itu tidak sah. Mereka wajib mengqadha` puasa dan tidak mengqadha` shalat. Sesuai hadits Aisyah dibawah ini, ((أَنَّهَا سُئِلَتْ: هَلْ تَقْضِي الْحاَئِضُ الصَّوْمَ وَالصَّلاَةَ؟ فَقاَلَتْ: كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضاَءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضاَءِ الصَّلاَةِ)) (متفق عليه) “Sesungguhnya Aisyah ditanya, “Apakah wanita haidh mengqadha` puasa dan shalat?” Ia menjawab, “Kami dulu disuruh mengqadha` puasa dan tidak disuruh mengqadha` shalat”.” (Muttafaq alaih) Sedangkan para ulama`, mereka telah berijma` (bersepakat) sesuai dengan yang diucapkan Aisyah, yaitu wajib mengqadha` puasa dan tidak perlu mengqadha` shalat bagi wanita haid dan nifas. Ini sebagai kemudahan dari Allah terhadap mereka. Karena shalat jumlahnya sangat banyak dan berulang-ulang, pada setiap hari sampai lima kali. Jadi dalam mengqadha`nya, seorang wanita akan menghadapi banyak kepayahan. Beda dengan puasa, ia wajib diqadha`, karena ia setahun hanya sekali saja, yaitu puasa ramadhan, jadi tak ada kepayahan dalam mengqadha`nya. Adapun siapa saja yang menunda mengqadha` sampai setelah ramadhan berikutnya tanpa adanya udzur (alasan) syar`i, maka ia harus bertaubat kepada Allah dari perbuatan ini, dibarengi dengan mengqadha` dan memberi makan orang miskin pada setiap hari yang ia tidak berpuasa padanya. Demikian halnya seorang musafir dan orang sakit. Jika keduanya menunda mengqadha` sampai setelah ramadhan berikutnya tanpa adanya udzur syar`i, maka keduanya wajib mengqadha`, bertaubat, dan memberi makan orang miskin dari tiap-tiap hari yang ia tidak berpuasa di hari-hari tersebut. Tetapi jika sakit atau bepergian itu terus berlangsung sampai ramadhan berikutnya, maka wajib bagi keduanya untuk mengqadha` saja tanpa memberi makan orang miskin, yaitu setelah ia sembuh dari penyakit, atau setelah datang dari bepergian.    Pertanyaan 11 : Apa hukum puasa tatawwu` seperti: puasa enam hari di bulan Syawal, puasa sepuluh hari di bulan dzul Hijjah, dan puasa Asyura`, bagi orang yang mempunyai hutang puasa ramadhan dan belum mengqadha`nya? Jawab: Yang wajib bagi orang yang memiliki kewajiban mengqadha` puasa ramadhan, hendaklah membayar puasa ramadhan terlebih dahulu sebelum berpuasa nafilah. Karena fardhu (wajib) lebih penting daripada nafilah (sunnah), ini menurut pendapat para ulama` yang paling sahih.    Pertanyaan 12 : Apa hukum seseorang yang mengidap penyakit, kemudian masuk bulan ramadhan dan ia tidak berpuasa, lalu ia meninggal setelah bulan ramadhan, apakah walinya harus mengqadha` puasanya, atau hanya memberi makan saja? Jawab: Jika seorang muslim meninggal dunia karena penyakit yang menimpanya setelah bulan ramadhan, maka ia tidak wajib mengqadha` dan tidak wajib pula memberi makan, karena ia memang mempunyai udzur syar`i. Demikian pula seorang musafir jika meninggal dalam perjalanan, atau meninggal langsung setelah kepulangannya ke kampung halaman, ia tidak wajib mengqadha` dan tidak pula memberi makan, karena ia mempunyai udzur syar`i. Adapun orang yang sudah sembuh dari penyakitnya, tetapi ia meremehkan urusan mengqadha` sampai ia meninggal dunia, atau seorang musafir yang datang dari safar dan malas mengqadha` sampai meninggal dunia, maka disyariatkan bagi walinya –mereka adalah sanak kerabat- untuk mengqadha`kan buatnya. Karena sabda nabi yang berbunyi, ((مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِياَمٌ، صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ)) (متفق على صحته) “Barangsiapa meninggal dunia, sementara ia memiliki kewajiban berpuasa, maka walinya harus berpuasa untuknya.” (Muttafaq alaih) Jika tidak ada seorang pun yang bisa berpuasa untuk mereka, maka diambil dari harta warisannya makanan yang diberikan kepada orang miskin, sebanyak setengah sha` perharinya. Yang ukurannya kira-kira satu kilo setengah. Hal ini juga berlaku pada orang tua yang tidak mampu berpuasa dan orang sakit yang tidak mungkin sembuh, sebagaimana disebutkan pada jawaban pertanyaan no: sembilan. Dan seperti ini pula keadaan seorang wanita haid dan nifas jika keduanya meremehkan qadha` sampai meninggal dunia, maka walinya harus memberi makan seorang miskin pada setiap hari yang harus dibayarnya, jika tidak ada seorang pun yang berpuasa untuk mereka. Sedangkan siapa pun yang tidak memiliki harta peninggalan, sehingga tidak bisa dikeluarkan darinya makanan yang diberikan kepada orang miskin, maka tidak apa baginya. Karena Allah Berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) Juga firman-Nya, “Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16) Semoga Allah memberi taufiq kepada kita semua. Pertanyaan 13 : Bagaimana hukum menggunakan suntikan pada urat leher dan otot, serta apa perbedaan diantara keduanya bagi orang yang berpuasa? Jawab: Yang benar, sesungguhnya kedua hal itu tidak membatalkan puasa. Yang membatalkan puasa khusus pada jarum infus, yang berfungsi sebagai pengganti makanan saja. Demikian pula tidak membatalkan puasa, jika seseorang mengambil darahnya untuk dibawah ke laboratorium, karena pengambilan darah ini bukan seperti berbekam. Adapun bekam, maka yang benar menurut pendapat para ulama, sesungguhnya orang yang dibekam dan yang membekam, keduanya telah batal puasanya. Sesuai sabda nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam yang berbunyi, ((أَفْطَرَ الْحاَجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ)) “Orang yang membekam dan dibekam harus berbuka.” Pertanyaan 14 : Bagaimana hukum menggunakan pasta gigi, dan obat tetes pada telinga, hidung, juga mata bagi orang berpuasa? Jika orang yang berpuasa merasakan obat tersebut di tenggorokannya, apa yang harus dikerjakannya? Jawab: Membersihkan gigi dengan pasta gigi tidak membatalkan puasa, ia seperti siwak. Tetapi seseorang harus berhati-hati, jangan sampai ada sesuatu yang masuk ke dalam tenggorokannya, jika ada sesuatu yang masuk ke dalam tenggorokan tanpa disengajanya, maka tidak apa-apa dan ia tak perlu mengqadha` puasa. Demikian pula obat tetes pada mata dan telinga, seseorang tidak menjadi batal puasanya karena hal itu, ini menurut pendapat para ulama` yang paling sahih. Jika seseorang mendapati rasa obat tetes itu pada tenggorokan, maka mengqadha` puasa adalah lebih baik, tapi tidak diwajibkan. Karena mata dan telinga bukan tempat masuknya makanan dan minuman. Sedangkan obat tetes pada hidung, maka hal itu tidak boleh dilakukan orang yang berpuasa, karena hidung termasuk lobang masuknya makanan dan minuman. Karena itulah rasulullah bersabda, ((وَباَلِغْ فِي اْلاِسْتِنْشاَقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِماً)) “Dan keraskan saat menarik air ke dalam hidung, kecuali jika kamu berpuasa.” Jadi, siapa pun yang meneteskan obat ke dalam hidung, maka ia wajib mengqadha` puasa sesuai hadits di atas. Dan apa pun yang serupa dengan obat tetes pada hidung, jika seseorang mendapati rasanya dalam tenggorokan, maka ia wajib mengqadha` pula. Semoga Allah memberi taufiq kepada kita semua. Pertanyaan 15 : Jika seseorang sakit gigi, kemudian ia pergi ke dokter, lalu dokter itu membersihkan gigi, menutup lobang, atau mencopot giginya, apakah hal semacam ini berpengaruh pada puasanya? Seandainya sang dokter memberi obat bius untuk menekan rasa sakit pada gusi, apakah ada pengaruhnya terhadap puasa? Jawab: Yang disebutkan dalam pertanyaan ini tidak ada pengaruhnya sama sekali pada puasa, jadi puasa seseorang tetap sah. Bahkan hal semacam ini termasuk yang ma`fu (dimaafkan). Tetapi seseorang harus berhati-hati, jangan sampai ia menelan darah atau obat saat dokter mengobati giginya. Dan demikian pula hukum suntikan yang digunakan untuk membius, suntikan ini tidak ada pengaruhnya terhadap puasa seseorang, karena suntikan itu tidak masuk dalam pengertian makan dan minum. Jadi yang benar adalah puasanya tetap benar dan sah. Pertanyaan 16 : Bagaimana jika seseorang makan dan minum karena lupa di siang hari saat berpuasa? Jawab: Hukumnya tidak apa-apa, dan puasanya tetap sah. Karena sesuai dengan firman Allah yang berbunyi, “Wahai Rabb kami! Jangan Engkau menyiksa kami jika kami lupa atau tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286) Dan ditegaskan dalam sebuah hadits sahih bahwa Allah menjawab, “Saya telah melakukannya.” Juga sesuai dengan hadits Abu Hurairah dari nabi, bahwa beliau bersabda, ((مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صاَئِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُـتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّماَ أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقاَهُ)) (متفق على صحته) “Barangsiapa lupa saat berpuasa, lalu makan dan minum, maka tetaplah meneruskan puasanya, karena yang memberi makan dan minum kepadanya adalah Allah.” (Muttafaq alaih) Dan demikian halnya jika ia menyetubuhi isterinya karena lupa, maka puasanya tetap sah. Ini menurut pendapat para ulama` yang paling sahih. Karena berdasarkan pada ayat dan hadits di atas, juga karena sabda nabi dibawah ini, ((مَنْ أَفْطَرَ نَاسِياً فَلاَ قَضاَءَ عَلَيْهِ وَلاَ كَفَّارَةَ)) (خرجه الحاكم وصححه) “Barangsiapa berbuka karena lupa, maka tak ada qadha` atasnya dan tak ada pula kaffarat (penebus).” (HR. Al-Hakim dan ia mensahihkannya) Lafadh hadits diatas umum pada masalah bersetubuh dan masalah lainnya yang membatalkan puasa, yang seseorang melakukannya karena lupa. Ini adalah bentuk rahmat, keutamaan dan kebijakan Allah kepada para hamba, maka segala puji dan syukur hanyalah kepada Allah atas semua kebaikan itu. Pertanyaan 17 : Bagaimana hukum seseorang yang tidak mau mengqadha` puasa sampai masuk ramadhan berikutnya, padahal ia tak ada udzur sama sekali. Apakah ia cukup bertaubat dengan mengqadha` atau harus membayar kaffarat? Jawab: Ia wajib bertaubat kepada Allah dan memberi makan orang miskin untuk setiap harinya, disertai mengqadha`. Yaitu memberikan setengah sha` makanan pokok yang ada di negerinya, apakah itu berupa kurma, gandum, beras atau yang lain. Sha` ini adalah sha` nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam, yang ukurannya kurang lebih satu kilo setengah, tak ada kaffarat lain selain hal itu. Hal ini sebagaimana difatwakan beberapa sahabat, diantaranya Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma. Tetapi jika orang tersebut memang ada udzur syar`i seperti sakit atau bepergian, atau jika seorang wanita, ia terkena udzur karena hamil dan menyusui, sehingga dengan berpuasa mereka malah mendapati banyak kesulitan, maka tidak ada kewajiban lain bagi mereka kecuali hanya mengqadha`. Pertanyaan 18 : Apa hukum puasa bagi seseorang yang meninggalkan shalat, apakah puasanya sah? Jawab: Pendapat yang rajih, orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, ia menjadi kafir dengan kekufuran yang nyata. Karena itu, puasanya tidak sah, demikian pula ibadah-ibadah lain yang dilakukannya sampai ia bertaubat kepada Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi, “Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An`am: 88) Tetapi ada beberapa ulama` yang mengatakan; bahwa orang yang meninggalkan shalat, ia tidak menjadi kafir karenanya, sehingga puasanya tidak batal, demikian pula ibadah-ibadah lainnya. Dengan ketentuan, saat meninggalkannya ia tetap meyakini kewajiban shalat tersebut, dan meninggalkannya hanya karena malas dan meremehkan. Namun, yang benar adalah pendapat pertama, bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, ia menjadi kafir meskipun ia meyakini kewajiban shalat tersebut. Pendapat ini berdasar pada banyak dalil, diantaranya sabda nabi yang berbunyi, ((بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ)) [خرجه الإمام مسلم في صحيحه من حديث جابر بن عبد الله رضي الله عنهما] “Garis yang memisahkan antara seorang lelaki dengan syirik atau kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (Diriwayatkan Imam Muslim dalam sahihnya dari Jabir bin Abdillah) Juga sabda beliau, ((اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ، فَمَنْ تَرَكَهاَ فَقَدْ كَفَرَ)) [أخرجه الإمام أحمد وأهل السنن الأربع بإسناد صحيح من حديث بريدة بن الحصيب الأسلمي] “Perjanjian antara kita dengan mereka adalah mengerjakan shalat. Maka barangsiapa yang meninggalkannya, sungguh ia telah kafir.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahlus sunan yang empat dengan sanad yang sahih dari Buraidah bin Hushoib Al-Aslami) Sementara itu, Ibnul Qayyim telah menjelaskan dengan detail masalah meninggalkan shalat ini dalam sebuah buku yang khusus membahas tentang hukum-hukum shalat dan meninggalkannya, buku ini bermanfaat sekali bagi kita, juga sangat bagus untuk dijadikan rujukan. Pertanyaan 19 : Bagaimana hukum orang yang berbuka di bulan ramadhan, tapi tidak mengingkari kewajiban puasa? Apakah meninggalkan puasa karena malas ini, jika dilakukan lebih dari sekali akan mengeluarkan seseorang dari Islam? Jawab: Barangsiapa berbuka secara sengaja di bulan ramadhan tanpa ada udzur syar`i, berarti telah melakukan sebuah dosa besar, tapi ia tidak kafir dengan perbuatan tersebut, ini menurut pendapat para ulama` yang paling sahih. Orang ini harus bertaubat kepada Allah sambil mengqadha` puasa yang ditinggalkannya. Pendapat diatas berdasar pada banyaknya dalil yang menunjukkan bahwa meninggalkan puasa bukanlah sebuah kekufuran, jika orang yang meninggalkannya itu tidak mengingkari kewajiban berpuasa, tapi meninggalkannya hanya karena malas dan meremehkan. Orang ini, jika terlambat mengqadha` tanpa ada udzur syar`i sampai datang ramadhan berikutnya, ia harus memberi makan orang miskin pada setiap hari yang diqadha`nya. Hal ini sudah dijelaskan pada jawaban pertanyaan ketujuh belas. Dan demikian pula jika seseorang meninggalkan zakat dan meninggalkan haji, sementara ia mampu melakukannya. Jika ia meninggalkan zakat dan haji tanpa mengingkari kewajiban keduanya, maka ia tidak kafir dengan hal itu. Tapi ia wajib membayar zakat pada tahun-tahun silam yang ditinggalkannya, ia harus mengerjakan haji dan bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuhah karena keteledoran ini. Ini semua berdasarkan pada keumuman dalil yang menunjukkan bahwa ia tidak kafir dengan hal itu, jika meninggalkannya bukan karena mengingkari kewajibannya. Diantara dalil itu adalah hadits mengenai siksaan di hari kiamat yang didapat seseorang karena meninggalkan zakat, kemudian ia melihat jalannya, bisa ke surga dan bisa ke neraka. Pertanyaan 20 : Bagaimana jika wanita haid menjadi suci di siang hari bulan ramadhan? Jawab: Wanita itu harus segera berpuasa, dalam artian; ia segera berhenti dari makan, minum dan segala pembatal puasa. Ini adalah pendapat para ulama yang paling sahih, sebab udzur syar`i padanya telah menghilang. Dan ia harus mengqadha` puasa pada hari itu, seperti jika ditetapkan bahwa bulan ramadhan terlihat di siang hari. Karena kaum muslimin, ketika mereka melihat bulan ramadhan di siang hari, mereka segera berhenti dari makan, minum dan pembatal-pembatal puasa lainnya, kemudian mengqadha` hari itu menurut pendapat jumhur para ulama`. Dan seperti ini pula seorang musafir, jika ia datang ke kampung halamannya di siang hari ramadhan, maka wajib baginya untuk berhenti dari makan, minum dan dari pembatal puasa lainnya, ia juga harus mengqadha` hari tersebut. Ini adalah pendapat para ulama` yang paling sahih. Alasan mereka, karena hukum safar pada orang tersebut telah lenyap. Semoga Allah memberi taufiq kepada kita semua. Pertanyaan 21 : Bagaimana jika ada darah yang keluar dari orang berpuasa, seperti darah mimisan misalnya? Dan apakah diperbolehkan bagi orang berpuasa untuk menyumbangkan darah, atau mengambil sedikit darahnya untuk dipelajari di Lab? Jawab: Keluarnya darah dari orang puasa seperti darah mimisan, istihadhah atau darah lainnya tidaklah membatalkan puasa. Karena darah yang membatalkan puasa hanyalah darah haid, nifas dan darah bekam. Dan tidak mengapa, jika orang yang berpuasa itu mengambil darahnya untuk diperiksa di laboratorium, jika memang harus melakukannya, puasanya tetap sah dan tidak rusak karena pengambilan itu. Adapun donor darah, maka yang lebih selamat adalah mengakhirkannya sampai ia berbuka puasa, karena darah yang diambil ketika donor adalah sangat banyak, mirip seperti bekam. Semoga Allah memberi taufiq kepada kita semua. Pertanyaan 22 : Bagaimana jika orang yang berpuasa itu makan, minum, atau bersetubuh, karena mengira matahari telah terbenam atau menduga bahwa fajar belum terbit? Jawab: Yang benar, bagi orang tersebut adalah mengqadha` puasa dan membayar kaffarat dzihar akibat bersetubuh itu, ini adalah pendapat jumhur para ulama`, demi menutup pintu tasahul (gampangan) dan agar puasa kita lebih selamat. Pertanyaan 23 : Bagaimana hukum seseorang yang menyetubuhi isterinya di siang hari ramadhan sementara ia berpuasa? Dan bolehkah bagi seorang musafir untuk bersetubuh, jika ia tidak berpuasa? Jawab: Bagi orang yang bersetubuh di siang hari ramadhan sementara ia wajib berpuasa, maka baginya adalah kaffarah. Maksudnya adalah kaffarat dzihar dengan kewajiban mengqadha` hari itu. Juga bertaubat kepada Allah dari perbuatan yang dikerjakannya. Tapi, jika ia adalah musafir atau orang sakit yang diperbolehkan untuk berbuka, maka tidak mengapa ia melakukannya dan tidak ada kaffarat, ia hanya wajib mengqadha` satu hari ia bersetubuh padanya. Karena seorang musafir dan orang sakit, diperbolehkan bagi mereka untuk berbuka, seperti bersetubuh dan pembatal puasa lainnya. Seperti yang difirmankan Allah taala, “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184) Sedangkan hukum kaum wanita dalam hal ini, sama seperti kaum lelaki. Jika seorang wanita wajib mengerjakan puasa, maka wajib baginya membayar kaffarat, serta mengqadha`. Tapi jika ia sedang bepergian atau sakit, sehingga dibolehkan berbuka, maka tidak ada kaffarat baginya. Pertanyaan 24 : Bagaimana hukum menggunakan penyemprot mulut di siang hari saat berpuasa, jika seseorang menggunakannya karena sakit asma atau penyakit lainnya? Jawab: Hukumnya adalah mubah (dibolehkan) jika ia terpaksa dan harus menggunakannya, ini sesuai dengan firman Allah yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An`am: 119) Juga karena penyemprot mulut itu tidak sama dengan makan dan minum, tapi ia lebih menyerupai dengan mengambil darah untuk diperiksa di lab, atau suntikan yang bukan infus, yaitu yang bukan menyalurkan makanan atau semisalnya. Jadi ia tetap diperbolehkan. Pertanyaan 25 : Apa hukum memberikan suntikan di anus bagi orang berpuasa jika ia diharuskan melakukannya? Jawab: Hukumnya adalah tidak masalah, selama hal itu dibutuhkan seorang pasien yang sakit, ini adalah salah satu dari dua pendapat ulama yang paling sahih. Pendapat inilah yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juga menjadi pilihan sebagian besar para ulama, karena menyuntikkan sesuatu di anus sama sekali tidak menyerupai makan dan minum. Pertanyaan 26 : Bagaimana jika orang yang berpuasa muntah, apakah ia mengqadha` hari itu atau tidak? Jawab: Orang yang muntah (tanpa sengaja) saat berpuasa, ia tidak perlu mengqadha`. Tetapi jika menyengaja untuk muntah, maka wajib mengqadha` hari itu, karena rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam bersabda, ((مَنْ ذَرَعَـهُ الْقَيْءُ فَلاَ قَضاَءَ عَلَيْهِ، وَمَنِ اسْتَقاَءَ فَعَلَيْهِ الْقَضاَءُ)) “Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja, maka tak ada qadha` atasnya, tapi barangsiapa yang menyengaja untuk muntah, maka ia harus mengqadha`.” (HR. Imam Ahmad dan Ahlussunan yang empat dengan sanad sahih dari Abu Hurairah) Pertanyaan 27 : Apa hukum cuci darah bagi penderita penyakit ginjal saat berpuasa, apakah ia harus mengqadha` atau tidak? Jawab: Ia harus mengqadha`, sebab ia telah ketambahan darah segar yang masuk ke dalam tubuhnya, dan jika ditambahkan dalam tubuh itu sesuatu yang lain, maka itu merupakan pembatal puasa lainnya. Pertanyaan 28 : Apa hukum I`tikaf bagi lelaki dan perempuan? Apakah ketika I`tikaf itu disyaratkan harus berpuasa? Apa saja yang dikerjakan orang yang beri`tikaf , dan kapan ia harus masuk mu`takaf (tempat I`tikaf )nya dan keluar darinya? Jawab: I`tikaf hukumnya adalah sunnah bagi lelaki dan perempuan, sesuai yang ditetapkan dari nabi, bahwa beliau selalu beri`tikaf di bulan ramadhan. Kemudian I`tikaf beliau menjadi rutin pada setiap sepuluh terakhir bulan ramadhan. Bahkan beberapa isteri beliau pernah beri`tikaf bersama beliau. Kemudian setelah beliau meninggal dunia, para isteri itu senantiasa beri`tikaf dan tidak meninggalkannya sama sekali. Sedangkan tempat I`tikaf adalah masjid-masjid yang didalamnya dilaksanakan shalat jamaah, tetapi jika dalam I`tikaf nya bakal ada shalat jum`at, maka yang lebih utama adalah mengerjakannya di masjid jami`, yang disitu dilaksanakan shalat jum`at. Tentunya jika hal ini bisa dilakukannya. Adapun waktu I`tikaf , menurut pendapat para ulama` yang paling sahih; tidak ada batasan tertentu mengenai waktu tersebut, dan tidak pula disyaratkan harus berpuasa saat mengerjakannya, tetapi jika dibarengi dengan puasa maka itu I`tikaf itu lebih afdhal. Dan sunnahnya, seseorang harus masuk ke mu`takafnya saat ia berniat hendak I`tikaf , lalu keluar setelah habisnya masa yang diniatkan itu, ia juga bebas menghentikan I`tikaf nya jika ia harus melakukannya. Sebab, I`tikaf hukumnya adalah sunnah, seseorang tidak wajib melakukannya kecuali dia memang bernadzar untuk mengerjakannya. Sedangkan yang paling dianjurkan untuk mengerjakan I`tikaf adalah di sepuluh terakhir bulan ramadhan, sesuai dengan kebiasaan nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam. Dan disunnahkan bagi seseorang yang hendak I`tikaf untuk masuk ke dalam mu`takafnya setelah shalat subuh pada hari kedua puluh satu. Lalu ia selesai dari I`tikaf nya ketika sepuluh terakhir dari ramadhan itu habis. Tetapi, jika dia menghentikan I`tikaf sebelum habis sepuluh terakhir, maka hal itu tidak mengapa baginya, selama I`tikaf itu bukan sesuatu yang dinadzarkannya sebagaimana dijelaskan tadi. Dan lebih utama jika seseorang memilih tempat tertentu dalam masjid, sehingga ia bisa beristirahat padanya. Seseorang yang I`tikaf , disyariatkan atasnya untuk memperbanyak dzikir, baca al-Qur`an, istighfar, berdoa, dan mengerjakan shalat pada selain waktu-waktu yang dilarang. Seorang yang sedang I`tikaf , tidak menjadi masalah jika ia dikunjungi teman-temannya. Juga tidak masalah untuk berbincang-bincang dengan mereka, sebagaimana yang dilakukan nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam, waktu I`tikaf beliau dikunjungi beberapa isterinya dan beliau berbincang dengan mereka. Beliau pernah dikunjungi isterinya, Shafiyyah, saat beri`tikaf di bulan ramadhan, ketika Shafiyyah bangkit hendak pergi, beliau pun bangkit bersama Shafiyyah, mengikutinya sampai pintu masjid. Jadi semua hal ini menunjukkan bahwa hal itu tidak mengapa untuk dilakukan. Perbuatan beliau ini menunjukkan betapa sempurna ketawadhu`an dan kerendahan diri beliau, dan betapa indah riwayat hidup beliau bersama para isterinya. Semoga shalawat Allah dan salam-Nya senantiasa tercurah kepada beliau. Dari تُحْـفَةُ اْلإِخْوَانِ بِأَجْوِبَةٍ مُهِمَّةٍ تَتَعَلَّقُ بِأَرْكاَنِ اْلإِسْلاَمِ (Tuhfatul Ikhwaan Bi Ajwibatin Muhimmatin Tata`allaqu Bi Arkaan Al-Islam) Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah